Kemarahan Dalam Didikan

Keteladanan bukanlah salah satu cara yang paling efektif dalam mendidik, melainkan satu-satunya cara dalam mendidik.

Kemarahan merupakan salah satu emosi yang harus muncul dalam proses pendidikan dimanapun, selain emosi-emosi lain yang tentunya juga harus ada seperti empati, simpati, kasih, dan kemarahan serta keadilan. Kasih dan keadilan harus selalu berjalan bersamaan dalam pendidikan. Kasih tanpa keadilan itu menghasilkan pendidikan yang lemah, tidak berwibawa, tidak menjadi teladan yang kuat. Sedangkan keadilan tanpa kasih menghasilkan pendidikan yang kejam.

Berbicara tentang emosi secara umum, seperti halnya berbicara tentang segala sesuatu, selayaknya akan selalu mengarah pada prinsip-prinsip nilai dan kebenaran. Apakah emosi itu secara konsisten dikeluarkan pada saat yang tepat, terhadap orang yang tepat, dengan bobot yang tepat, serta memiliki nilai yang tepat?

Selalu ada cara yang benar dan salah dalam melakukan segala sesuatu.

Demikian pula dengan kemarahan dalam didikan. Pada tahun 1990-an, dalam era post-modern, banyak sekali pendapat yang menyarankan bagaimana melangsungkan pendidikan anak tanpa kemarahan dan teriakan sebagai respon terhadap pendidikan yang sifatnya terlalu keras bahkan sampai pada penganiayaan anak, baik secara fisik dan psikis.

Pendapat-pendapat tersebut banyak digunakan oleh para orang tua dan hasilnya yang dirasakan sekarang adalah begitu banyak anak yang menjadi manusia-manusia yang kurang didikan, kurang berdisiplin, kurang tahan dalam kesulitan, kurang kesopanan, kurang tata krama, kurang berintegritas, kurang berjuang, kurang keinginan untuk mencari hal-hal yang bernilai tinggi, dan kurang etos kerja yang baik. Abad ke-20 kurang menghasilkan orang-orang yang berkualitas tinggi, berintelektual tinggi, bermoral tinggi, berpemikiran tinggi; Abad ini hanya menjadi pengikut atau pelawan dari pemikir-pemikir besar era terdahulu.

Yang seharusnya menjadi perhatian bukanlah boleh atau tidak boleh marah. Namun yang seharusnya menjadi perhatian adalah bagaimana cara marah. Dalam hubungan sosial dengan sesama manusia, entah dengan relasi kerja, teman, pasangan, orang tua, guru, ataupun kepada anak, tidak mungkin seorang manusia dilepaskan dari emosi-emosi yang muncul antara satu orang terhadap orang yang lain. Relevansi antara emosi tersebut dengan suatu keadaan adalah bagaimana emosi-emosi itu dikeluarkan dengan tepat berdasar aspek kesucian, kebaikan, kebenaran, dan apakah emosi itu berguna dan membangun orang lain selain membangun diri sendiri.

Dalam hal emosi marah, yang menjadi masalah utama adalah kita seringkali marah karena kita merasa terganggu. Kemarahan semacam ini adalah emosi yang tidak berakal budi baik dan seringkali tidak terkendali. Diberbagai budaya yang agung dengan rasionalitas yang tinggi (misalnya dalam budaya bangsawan Eropa maupun Jepang; ataupun dalam lingkungan sosial berkelas tinggi), kemarahan dalam situasi apapun seringkali dinilai sebagai ketidakdewasaan, tidak ada kontrol diri, tidak bisa mengendalikan situasi, tidak beradab, tidak elegan, dan tidak sopan.

Demikian pula dalam dunia pendidikan, terutama dalam dunia pendidikan antara orang tua dan anak, dalam hubungan yang dekat serta berintesitas tinggi, kemarahan dalam didikan tidak dapat dihindari dan tidak boleh dihindari.

Saat yang tepat

Kemarahan yang dikeluarkan pada saat yang tepat memiliki pengaruh yang baik. Hal ini akan langsung menjadi teladan dalam diri anak tentang kapan dan bagaimana seseorang diperbolehkan untuk marah. Kebanyakan orang tua, mereka marah karena mereka merasa terganggu.

Kalau tidak ingin merasa terganggu, jangan punya anak.

Ini merupakan saat marah yang paling salah dan paling merusak. Anak memiliki sifatnya sendiri yang perlu dibimbing dan diarahkan supaya dia memiliki teladan dan patokan tentang “saat yang tepat” untuk melakukan sesuatu. Untuk segala sesuatu dimuka bumi ini ada waktunya. Ada waktu untuk makan, ada waktu untuk tidur, ada waktu untuk bermain, ada waktu untuk belajar, dan seterusnya hingga ada waktu untuk membangun, dan ada waktu untuk merusak. Ada waktu untuk marah dan ada waktu untuk mencintai.

Anak perlu belajar dan mengerti tentang konsep waktu sebelum dia mengerti tentang arti keteraturan, disiplin diri, pengendalian diri, dan toleransi terhadap orang lain. Dengan telaten orang tua harus mengajari dia dengan teladan yang baik tentang bagaimana dia bersikap dan kapan dia boleh bersikap seperti apa.

Seorang anak kecil seringkali diberi label “NAKAL” hanya karena dia belum mengerti kapan dia boleh berlari-lari dan kapan dia tidak boleh berlari-lari. Anak yang belum mengerti, harus dibuat mengerti. Seperti orang yang belum tahu, harus diberi tahu apa yang dia perlu tahu. Kemarahan dan caci maki dalam hal ini tidak membantu, tidak membangun, tidak benar, tidak baik, dan tidak suci. Apakah proses ini mudah? Jawabannya adalah TIDAK. Kita sendiri kadang perlu mengulang berapa banyak kali kesalahan yang sama, atau perlu berapa banyak kali mempelajari hal yang sama supaya kita bisa hidup dengan baik. Bagaimana mungkin kita bisa berharap bahwa siapapun termasuk anak kecil bisa diberi tahu sekali kemudian langsung jadi baik.

Terhadap orang yang tepat

Setiap orang tua harus peka dan menjadi teladan tentang kepada siapa kemarahan itu ditujukan. Seringkali kita marah kepada orang yang tidak tepat, kepada obyek yang tidak seharusnya, atau menyalahkan situasi/kondisi/orang lain untuk keteledoran yang kita perbuat. Jarang sekali kita dengan bijaksana dan berani mengambil tanggung jawab dan berkata pada diri kita sendiri, “Ini salahku, lain kali tidak boleh lagi terulang hal sedemikian. Aku akan berusaha berpikir lebih jauh dan lebih panjang dan melihat potensi dan aspek lain yang mungkin bisa menjadi salah di lain waktu untuk melihat segala kemungkinan supaya hal ini tidak terjadi lagi.

Dengan kesadaran diri yang tinggi dan kebijaksanaan untuk berani bertanggung jawab, hal itu akan membuat hidup kita sebagai orang tua memiliki integritas sebagai teladan. Sehingga orang tua tidak lagi berperilaku ketika anaknya terjatuh atau terbentur meja dan menangis, datang menghampiri anaknya dan kemudia memukul-mukul lantai atau meja yang membentur anaknya sambil berkata, “Nakal ya mejanya..!! Ini sudah dipukul meja yang membentur kamu… sudah jangan menangis ya.”

Dalam kasus tersebut, orang tua sudah mengajarkan anaknya bahwa yang salah bukan dia, tapi lingkungan; dan mereka yang salah boleh dipukul supaya aku tidak sakit. Bukan anak itu belajar bahwa dia yang harus berhati-hati, tetapi orang lain yang harus berhati-hati supaya dia tidak celaka. Jangan heran jika dia tumbuh dewasa dengan egois. Jangan heran orang tua yang sedemikian pasti egois. Karena buah tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya.

Konsisten dengan bobot dan nilai yang tepat

Pendidikan yang baik harus memiliki bobot dan nilai yang tinggi dan harus bersifat konsisten. Pendidikan yang tidak konsisten akan menjadi pendidikan yang bersifat sangat relatif dan sangat membingungkan. Orang tua yang mendidik dengan cara yang membingungkan akan menghasilkan anak-anak yang cuek dan pragmatis. Karena mereka tidak bisa melihat pola didik yang konsisten, mereka akan berhenti berusaha mengerti kemauan orang tuanya dan mengambil sikap tidak perduli.

Hal ini juga yang akan terjadi jika ayah dan ibu dirumah tidak memiliki pola didik yang sama. Ayah bilang boleh, sementara ibu bilang tidak boleh. Ditambah lagi kalau ayah atau ibu sedang dalam suasana hati yang jelek, apapun yang dikerjakan anak jadi serba salah dan dia kena marah, bahkan untuk hal-hal yang sebelumnya mungkin dipuji oleh orang tuanya.

Sebagai gambaran, ada anak kecil yang berulang-ulang menghilangkan bolpen yang dibawanya ke sekolah. Orang tuanya tidak pernah marah dan untuk anak itu, orang tuanya menyediakan sekotak bolpen murah yang boleh dipakai anak itu ketika bolpen dia hilang (lagi). Hingga suatu hari, kotak bolpen itu kosong dan habis isinya dan dia tidak punya bolpen. Serta merta dia mengambil bolpen ayahnya dari meja tulis dan membawanya ke sekolah. Sepulangnya dari sekolah, seperti yang sudah bisa kita tebak, bolpen ayahnya pun hilang. Dan ketika ayahnya tahu, murkalah si ayah dan menampar serta menghajar anak itu dengan keras karena harga bolpen itu sangat mahal.

Ayahnya marah karena dia merasa terganggu. Selama ini dia tidak mendidik si anak untuk bertanggung jawab, melainkan membiarkan dia teledor. Ayah ini sudah salah mengajarkan kepada anaknya tentang prinsip nilai; yaitu barang yang dianggap tidak berharga boleh disia-siakan. Anaknya tidak tahu tentang bolpen murah atau mahal, dia hanya tahu bahwa bolpen itu buat menulis. Sementara bolpennya habis dan belum dibelikan lagi oleh ayahnya, dia ambil saja bolpen lain yang bisa dia pakai.
Tidak ada konsistensi dalam didikan si ayah dan tidak ada pengajaran tentang tanggung jawab pribadi serta prinsip-prinsip yang bernilai tinggi dalam didikan si ayah. Si anak bahkan tidak tahu kenapa dia dipukuli dengan sangat keras, padahal biasanya kalau bolpen hilang, si ayah cuma tersenyum dan pergi membeli bolpen yang baru buat dia. Dia bahkan tidak tahu kenapa bolpen itu bisa hilang, sama seperti semua bolpen yang lain yang pernah dia hilangkan, itu bahkan bukan salahnya. Bolpennya itu sendiri yang entah pergi kemana.
Tapi hari itu si anak mendapatkan dirinya kesakitan untuk sesuatu yang tidak dia mengerti.

Pendidikan manusia dibahas dengan sangat tajam dalam buku orang Kristen. Dan tujuan pendidikan diterangkan dengan prinsip yang sangat ketat pula. Bahwa dasar pendidikan anak adalah untuk membentuk manusia seperti yang sebagaimana telah Tuhan rencanakan terhadap masing-masing orang seturut dengan bekal yang telah Tuhan berikan. Berhati-hatilah dalam mendidik anak-anak yang dipercayakan ke dalam keluarga kita. Didiklah diri kita sendiri dengan keras hingga kita bisa menjadi teladan yang baik sebelum kita siap mendidik jiwa yang kecil dan murni itu.

Jangan pernah marah dalam keadaan marah. Tapi marahlah karena kita perlu marah supaya ditanggapi dengan serius oleh anak didik kita. Kemarahan dalam intesitas yang berbeda akan memberikan penekanan tentang seberapa besar kesalahan yang dia perbuat. Kesalahan kecil jangan dibuat besar. Kesalahan besar jangan dibuat kecil. Didiklah anak-anak sesuai dengan prinsip keadilan yang memiliki kasih. Kasihilah anak-anak dengan prinsip kasih yang memiliki didikan.

Para orang tua, janganlah mendidik sampai membangkitkan marah dan sakit hati dalam hati anak-anakmu. Bilur dan memar di kulit mereka akan hilang, tapi luka dalam batin mereka akan merusak jiwa mereka. Tapi didikan yang keras, yang membangun jiwa mereka akan disyukurinya dan bilur dan memar yang pernah singgah di kulit mereka akan menjadi kebanggaan mereka.

Leave a comment