Kesadaran Moral dan Kesadaran Kebersalahan

Kesadaran Moral

Saya yakin kita semua pernah berada dalam suatu dilema moral, yang satu lebih kompleks dan berat dibanding yang lain. Ketika kita melihat suami dari sahabat kita berselingkuh, apakah yang akan kita lakukan? Berdiam diri atau menegur atau menyampaikan hal tersebut? Jika kita sampaikan, akan terjadi kerusakan parah dalam keluarga mereka, mungkin anak-anak mereka akan dibesarkan dalam keluarga yang hancur. Jika tidak kita sampaikan, hal itu mungkin akan berlanjut dan menjadi lebih parah.
Atau ketika seseorang sedang dalam antrian dalam ruang praktek dokter, ada seseorang yang anak kecil dan tampaknya jauh lebih kesakitan daripada kita, baru datang dan mengantri sesudah kita. Kita yang sudah mengantri lebih dari satu jam, yang juga sedang migren, demam dan nyeri dengan bisul di bibir ; apakah kita akan membiarkan anak itu masuk terlebih dahulu padahal dia baru saja datang?
Atau ketika kita memiliki posisi sebagai pejabat pemerintah, seseorang datang memohon persetujuan dan pengesahan dari dokumen dan perjanjian kontrak; datang dengan membawa uang suap. Semua orang di kantor kita memiliki budaya dan kebiasaan yang sama. Semua orang tau bahwa suap itu adalah etika yang rusak, tapi semua orang melakukannya. Jadi akan kita terima kah uang suap itu? Jika kita tolak, kita menjadi orang yang sok suci, dikucilkan karena tidak sejalan dengan semua orang dalam kantor kita. Jika kita terima, hati nurani kita menegur kita bersalah.
Atau ketika kita melihat handphone yang tergeletak di kamar mandi pusat perbelanjaan, tanpa pemiliknya. Akankah kita ambil? Atau kita biarkan? Atau kita bawa pulang? Atau kita serahkan kepada pihak managemen atau pihak keamanan gedung? Tidak akan ada seorangpun yang menyalahkan kita kalau kita bawa pulang dan kita jual, karena tidak ada yang tahu. Tidak ada siapapun yang akan menegur kita selain daripada diri kita sendiri dan hati nurani kita.

Ada banyak dilema moral yang terjadi di sekitar kita, dimana kita dituntut untuk mengambil sebuah posisi didalamnya. Seperti pepatah yang berbunyi, “Bagaikan buah simalakama, dimakan: bapak mati, tidak dimakan: ibu mati.” Semakin kita memiliki pengertian moralitas dan pengetahuan norma kebaikan dan kebenaran, semakin banyak kita akan menempatkan diri kita dalam dilema moral.

Moralitas dan Perasaan Bersalah

Dari manakah munculnya kesadaran moral? Secara sangat singkat, dari didikan budaya dan agama. Saya yakin kita semua akan setuju jika saya katakan bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Saya yakin sebagian kita akan setuju jika saya katakan bahwa kesadaran moral adalah sama seperti kesadaran tentang keberadaan Tuhan, yang ada sejak manusia dilahirkan. Namun bersamaan dengan kesadaran moral tersebut, ada hal dalam diri kita yang ada sejak lahir, namun tidak kita sadari, yaitu amoralitas.

Saya mengasumsikan kita semua pernah mendengar kalimat bahwa, “manusia itu pada dasarnya baik. Manusia dilahirkan seperti lembaran kertas putih polos. Masyarakatlah yang membuat manusia menjadi rusak dengan pengaruh negatif.”

Saya pribadi tidak setuju dengan kalimat itu. Siapakah masyarakat? Masyarakat adalah kumpulan manusia. Jika kumpulan manusia semua berasal dari kertas putih polos, darimana datangnya ketidakbaikan?
Ingatkan kita ketika kita pertama kali mencuri? Ingatkah betapa kita sangat ketakutan ketika itu? Atau ingatkan kita ketika kita pertama kali berbohong?

Kita tahu bahwa kita bersalah. Hati nurani menegur kita, dan hidup kita menjadi tidak tenang karenanya. Dalam perkembangan kita, kita mulai mengenal kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan, keadilan dan kelaliman, dan seterusnya; berikut dengan segala kompleksitas dan dilema didalamnya.

Kita mengenal dan belajar tentang semua itu dari mereka-mereka yang memiliki kepekaan terhadap teguran hati nurani mereka, mereka-mereka yang menjaga moralitas mereka, dan kita menganggap mereka itu sebagai orang-orang saleh. Dan kita mengenal mereka semua sebagai pengajar moral, pemuka agama, pemimpin agama, dan seterusnya.

Pernahkah kita sadari bahwa justru dari pengetahuan akan moralitas tersebut membangkitkan kesadaran kebersalahan? Perasaan bersalah itu muncul karena kita mengerti hal yang baik dan hal buruk. Ketika kita tidak  mengerti akan perbedaan benar dan salah, tidak ada dalam diri kita yang menegur.

Konsep Dosa

Saya yakin kita semua setuju bahwa sebagai orang yang beragama, kita semua mengenal konsep dosa. Bahkan orang yang tidak beragama pun harus mengakui suatu perasaan bersalah yang timbul dalam diri seseorang, termasuk didalamnya adalah perasaan menyesal. Setiap orang yang tidak memiliki perasaan bersalah atau penyesalan dikategorikan kedalam orang yang memiliki gangguan kejiwaan yang parah atau psychopathy.

Sesungguhnya, agama tidak pernah membawa kita kepada kebenaran. Agama membawa kita kepada konsep pengertian bahwa ada kebenaran dan kebaikan. Melalui pengertian tersebut, kita dibawa pada pengetahuan akan yang baik dan yang jahat. Semakin kita mengenali dan mendalami perihal kebaikan, semakin kita mengetahui bahwa kita ini adalah orang yang memiliki banyak kesalahan.

Ketika kita berbuat baik, menolong orang, memberikan kepada seorang pengemis bantuan berupa uang, kita merasa sudah baik. Kita berbuat baik. Kita adalah orang baik. Kita menolong orang lain.

Pernahkah kita memikirkan lebih jauh, apakah perbuatan kita menolong pengemis itu akan berakibat baik bagi dia atau malah menjerumuskan dia? Apakah yang sebenarnya dibutuhkan oleh pengemis tersebut? Apakah uang? Ataukah pekerjaan? Ataukah kesempatan? Apakah uang yang kita berikan dia gunakan untuk membeli makanan atau malah membeli rokok yang malah tidak menyehatkan?

Saya sekali lagi yakin, bahwa pertanyaan-pertanyaan barusan seharusnya menggugah sebagian kita dan menyadarkan kita. Tapi kita merasionalisasikan perasaan tanggung jawab moral dan kesadaran moral itu dengan alasan-alasan seperti berikut: yang penting kita sudah berniat baik. Yang penting adalah niatnya. Masalah pengemis itu mau terus menjadi pengemis, atau uang itu mau dipakai untuk beli makanan, atau beli rokok, atau beli pisau untuk menodong orang, atau dipakai untuk menyekolahkan anaknya, kita tidak tahu. Tepatnya, kita tidak cukup perduli.

Dengan kata lain, kita tidak bisa dipersalahkan ketika kita tidak tau.

Hal itu tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya bertanggung jawab. Pengertian itu seharusnya membangkitkan suatu perasaan bersalah yang lain. Yaitu seberapa jauh pun kita mau berbuat baik, kita tidak bisa berbuat baik. Kita tidak bisa secara tuntas berbuat kebaikan yang dapat membenarkan diri kita atau membuat diri kita dibenarkan. Karena kita tidak tahu, hal itu cukup untuk menenangkan hati nurani kita dan menjauhkan kita dari perasaan bersalah.

Agama dan kebenarannya hanyalah membuktikan bahwa diri kita ternyata tidak mampu melakukan kebaikan. Dan melakukan satu kesalahan dari satu larangan dalam agama berarti telah melanggar semua hukum. Agama tidak menyelamatkan. Perbuatan baik tidak membuat kita dibenarkan. Saya yakin kita semua bisa menyetujui kalimat berikut, apakah semua orang dalam penjara adalah orang yang tidak beragama? Tidak. Pasti ada banyak orang yang berada dalam penjara yang adalah orang yang taat beragama. Apakah koruptor adalah orang yang tidak taat beragama? Jika mereka beragama, mengapa mereka tetap korupsi?

Akan tetapi melalui jalan agama, seseorang diberi tahu bahwa dia bersalah, dia berdosa. Dan sebagian besar agama menawarkan penyelesaian, yaitu melalui perbuatan baik. Namun hal tersebut menimbulkan permasalahan yang lain lagi yang sudah kita bahas, yaitu kesadaran bahwa tidak ada perbuatan baik kita yang benar-benar tuntas merupakan kebaikan yang dapat dibanggakan dan dijadikan pengganti perbuatan dosa kita dan menenangkan perasaan bersalah kita.

Masalahnya utamanya adalah kita tidak bisa tidak melakukan kesalahan. Kita berusaha melakukan penebusan kesalahan kita dalam setiap upacara besar keagamaan. Setiap kali. Dan setiap kali kita melakukan kesalahan yang sama. Tidak ada jalan keluar melalui agama, karena perbuatan amal kita tidak bisa menyelamatkan kita.
Berusaha menyelamatkan diri melalui perbuatan amal adalah seperti melanggar lampu merah. Kita keluar rumah, hendak menuju ke rumah kekasih kita, di jalan ada sepuluh lampu merah. Setelah melalui 9 lampu merah, kita sadar bahwa kita sudah terlambat. Maka di lampu merah ke-10, kita serobot dan langgar. Kemudian kita dihentikan oleh polisi dan di tilang. Kita tidak bisa berargumen kepada polisi itu, “Bapak tidak boleh menilang saya. Saya sudah melewati 9 lampu merah dengan tertib, masa baru 1 lampu merah yang saya langgar, sudah ditilang?”
Kita tidak bisa juga berargumen kepada seorang hakim, “Sudah 39 tahun saya hidup sebagai warga negara Indonesia, tidak pernah saya berurusan dengan hamba hukum, masakan baru satu kali ini saya mencuri karena anak saya sakit keras dan hampir mati, saya akan langsung masuk penjara?”

Perbuatan baik tidak bisa menyelamatkan. Dan agama memperjelas hal itu. Melalui agama kita mengenal semua baik dan jahat. Dan semakin banyak yang kita ketahui, semakin banyak kita sadar bahwa semakin banyak yang kita perbuat ternyata tidak baik.

Jika kita bisa dianggap baik hanya dengan mempercayai suatu agama tertentu tanpa perlu hidup bertanggung jawab dan suci, apa gunanya kita hidup bersusah payah berusaha mengejar kesalehan? Apa gunanya kesadaran kita akan moralitas? Jika demikian halnya, apakah gunanya beragama? Dan disini jawaban yang saya temukan yang selalu saja diucapkan orang: Ada begitu banyak agama di luar sana. Apakah semua agama itu sama saja dan berakhir dengan kebuntuan dan dilema sedemikian?

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s