Q: Kemuliaan setelah kematian itu dicapai dengan perbuatan baik dan akhirnya akan ditimbang perbuatan baik dibandingkan dosa kita! Apa yang salah dengan pemikiran tersebut?

Answer:

Secara sangat singkat, yang salah dengan pemikiran tersebut adalah kita secara tidak konsisten mengaplikasikan pemikiran yang bahkan tidak bisa dipakai dalam seluruh konteks sistem kebenaran dan keadilan dalam segala jaman di segala tempat di dunia ini, kepada suatu sistem kebenaran akhirat yang seharusnya lebih tinggi dan lebih adil dan lebih universal.

Bayangkan sedemikian, didalam undang-undang lalu lintas kita, sehari-hari kehidupan kita diatur oleh hukum dan tata cara berkendara (yang sering kali secara sadar kita langgar.) Ada marka jalan yang lurus dan ada yang putus-putus, ada larangan melakukan U-turn di persimpangan lampu merah, ada lampu merah itu sendiri, ada lajur kendaraan roda dua dan ada lajur kendaraan roda empat. Dan dalam perilaku berkendara masyarakat kita pada umumnya, semua boleh asal tidak ketahuan polisi. Hal tersebut tentunya tidak berlaku dalam hukum akhirat karena tuhan yang kita yakini adalah tuhan yang mengetahui segala sesuatu.

Sekarang sebagai contoh: Anda melalui 10 lampu merah, di lampu merah pertama, Anda taat. Lampu menyala merah, Anda berhenti. Lampu menyala hijau, Anda jalan. Demikian pula di lampu merah kedua, ketiga, dan seterusnya hingga ketika di lampu merah ke sembilan, Anda sadar bahwa Anda akan terlambat. Sampailah pada lampu merah kesepuluh, lampu menyala kuning, Anda melaju semakin cepat, dan ketika lampu menyala merah, sudah terlambat untuk mengerem kendaraan Anda. Sialnya, ada polisi yang sedang mengawasi.

Anda tertangkap basah.

Bisakah Anda berargumen dihadapan hukum dunia yang diwakilkan oleh polisi, “Seumur hidup saya, baru pertama kali ini saya melanggar lampu merah! Saya tidak bisa ditilang karena ada ribuan lampu merah yang tidak pernah saya langgar, mungkin jutaan!”

Atau dengan argumen yang lebih besar, “Saya tidak pernah melanggar aturan lalu lintas apapun selama hidup saya, saya tidak pernah melanggar rambu, tidak pernah melanggar marka, tidak pernah mendahului kendaraan dari sebelah kiri, tidak pernah melajukan kendaraan lebih dari 40km/jam, baru kali ini saya melanggar lampu merah. Karena itu saya mohon pengertian bapak untuk tidak menilang saya.”

Itu baru contoh kecil tentang lampu merah. Bagaimana dengan hukum yang lain? Seperti, “Saya tidak pernah melanggar hukum seumur hidup saya, kali ini saya emosi sehingga mobil bapak saya tabrak, itupun karena bapak memotong jalur saya! Saya tidak berkewajiban memberikan ganti rugi karena perbuatan baik saya lebih banyak.”
Dan secara sejujur-jujurnya, benarkah kita benar-benar tidak pernah melakukan kesalahan seperti melanggar aturan lalu litas atau melanggar hukum moral dan kesopanan dan kepantasan sepanjang hidup kita?

Jika argumen tersebut bahkan tidak bisa dipakai dalam dunia kita keseharian, bagaimana kita bisa berharap bahwa logika itu bisa dipakai dalam dunia akhirat dihadapan tuhan?

Saya kira sampai disini, kita bersama-sama bisa dengan rendah hati mengakui bahwa perbuatan baik kita tidak mencukupi untuk melayakkan kita dan membawa kita kepada kemuliaan setelah kematian yang kemudian membawa kita kepada keabadian (baca: surga, nirwana, atau apapun juga.) Terlebih dari itu, hal tersebut seharusnya membawa kita kepada pengertian bahwa tidak ada seorangpun yang baik.

Berangkat dari pengertian tersebut, tidak seorangpun dari kita bisa mencapai kemuliaan akhirat. Seorangpun tidak. Tidak ada siapapun. Hal ini sedemikian jelas sampai-sampai seolah-olah tuntutan tuhan pada manusia adalah sangat tidak adil.

Melalui hukum dunia, kita dimengertikan bahwa kemampuan, usaha, argumen konyol kita, dan perbuatan baik kita tidak cukup untuk membawa kita pada kemuliaan akhirat.

Namun tulisan saya ini tidak dimaksudkan untuk berhenti disini dan meninggalkan pembaca pada keputusasaan dan ketidakberpengharapan dari kehidupan yang sangat singkat dan konyol ini. Saya mau memberikan LOGOS kepada Anda, sebuah argumen atau alternatif lain untuk menyatakan bahwa tidak berarti dunia ini tidak berpengharapan sama sekali.

Di dalam kekristenan, kita memanggil Tuhan dengan sebutan Bapa. Justru didalam sebutan itu, sangat tampak bahwa kita yang tidak sempurna boleh dibenarkan, bukan karena kita benar atau kita membenarkan diri kita dengan upaya kita sendiri. Seperti kita terhadap anak kita, bukan seperti hukum pemerintah terhadap rakyatnya, kaku dan tidak mengenal belas kasihan dan bisa dibengkokkan. Terhadap yang kita panggil sebagai anak, meskipun dia mungkin dengan sengaja melalukan kesalahan, merusakkan barang kita, melawan kita, sengaja menyakiti kita, kita bisa mengampuni dan pengampunan itu kita berikan dengan keluasan hati dan dengan bebas. Demikian pula Tuhan terhadap kita, karena Bapa itu kasih adanya, bukan sekedar dia adalah pengasih, melainkan dia sendiri itu merupakan Kasih yang hidup.

Melalui kasih itu manusia dibenarkan dan diselamatkan, terlepas dari kesalahan kita karena kita tidak-bisa tidak-bersalah. Didalam anugrah pembenaran itu, kita diharapkan untuk memiliki kasih terhadap Dia dan kasih terhadap sesama, ditengah jatuh bangun dan kegagalan kita, kita dituntut untuk terus berusaha mematuhi hukum-Nya hingga pada akhirnya, Dia sendiri yang menutupi kekurangan dan ketidaksempurnaan kita dengan menjadi pengganti kita dengan darah-Nya sendiri sebagai korban sembelihan, tidak lagi oleh korban yang mengalirkan darah binatang. Dan melalui korban darah yang hidup, kita dibenarkan dan kesalahan kita tidak lagi diperhitungkan.

Bukan karena kita berhasil benar, tapi karena kita dianggap benar.