Kemarahan Dalam Didikan

Keteladanan bukanlah salah satu cara yang paling efektif dalam mendidik, melainkan satu-satunya cara dalam mendidik.

Kemarahan merupakan salah satu emosi yang harus muncul dalam proses pendidikan dimanapun, selain emosi-emosi lain yang tentunya juga harus ada seperti empati, simpati, kasih, dan kemarahan serta keadilan. Kasih dan keadilan harus selalu berjalan bersamaan dalam pendidikan. Kasih tanpa keadilan itu menghasilkan pendidikan yang lemah, tidak berwibawa, tidak menjadi teladan yang kuat. Sedangkan keadilan tanpa kasih menghasilkan pendidikan yang kejam.

Berbicara tentang emosi secara umum, seperti halnya berbicara tentang segala sesuatu, selayaknya akan selalu mengarah pada prinsip-prinsip nilai dan kebenaran. Apakah emosi itu secara konsisten dikeluarkan pada saat yang tepat, terhadap orang yang tepat, dengan bobot yang tepat, serta memiliki nilai yang tepat?

Selalu ada cara yang benar dan salah dalam melakukan segala sesuatu.

Demikian pula dengan kemarahan dalam didikan. Pada tahun 1990-an, dalam era post-modern, banyak sekali pendapat yang menyarankan bagaimana melangsungkan pendidikan anak tanpa kemarahan dan teriakan sebagai respon terhadap pendidikan yang sifatnya terlalu keras bahkan sampai pada penganiayaan anak, baik secara fisik dan psikis.

Pendapat-pendapat tersebut banyak digunakan oleh para orang tua dan hasilnya yang dirasakan sekarang adalah begitu banyak anak yang menjadi manusia-manusia yang kurang didikan, kurang berdisiplin, kurang tahan dalam kesulitan, kurang kesopanan, kurang tata krama, kurang berintegritas, kurang berjuang, kurang keinginan untuk mencari hal-hal yang bernilai tinggi, dan kurang etos kerja yang baik. Abad ke-20 kurang menghasilkan orang-orang yang berkualitas tinggi, berintelektual tinggi, bermoral tinggi, berpemikiran tinggi; Abad ini hanya menjadi pengikut atau pelawan dari pemikir-pemikir besar era terdahulu.

Yang seharusnya menjadi perhatian bukanlah boleh atau tidak boleh marah. Namun yang seharusnya menjadi perhatian adalah bagaimana cara marah. Dalam hubungan sosial dengan sesama manusia, entah dengan relasi kerja, teman, pasangan, orang tua, guru, ataupun kepada anak, tidak mungkin seorang manusia dilepaskan dari emosi-emosi yang muncul antara satu orang terhadap orang yang lain. Relevansi antara emosi tersebut dengan suatu keadaan adalah bagaimana emosi-emosi itu dikeluarkan dengan tepat berdasar aspek kesucian, kebaikan, kebenaran, dan apakah emosi itu berguna dan membangun orang lain selain membangun diri sendiri.

Dalam hal emosi marah, yang menjadi masalah utama adalah kita seringkali marah karena kita merasa terganggu. Kemarahan semacam ini adalah emosi yang tidak berakal budi baik dan seringkali tidak terkendali. Diberbagai budaya yang agung dengan rasionalitas yang tinggi (misalnya dalam budaya bangsawan Eropa maupun Jepang; ataupun dalam lingkungan sosial berkelas tinggi), kemarahan dalam situasi apapun seringkali dinilai sebagai ketidakdewasaan, tidak ada kontrol diri, tidak bisa mengendalikan situasi, tidak beradab, tidak elegan, dan tidak sopan.

Demikian pula dalam dunia pendidikan, terutama dalam dunia pendidikan antara orang tua dan anak, dalam hubungan yang dekat serta berintesitas tinggi, kemarahan dalam didikan tidak dapat dihindari dan tidak boleh dihindari.

Saat yang tepat

Kemarahan yang dikeluarkan pada saat yang tepat memiliki pengaruh yang baik. Hal ini akan langsung menjadi teladan dalam diri anak tentang kapan dan bagaimana seseorang diperbolehkan untuk marah. Kebanyakan orang tua, mereka marah karena mereka merasa terganggu.

Kalau tidak ingin merasa terganggu, jangan punya anak.

Ini merupakan saat marah yang paling salah dan paling merusak. Anak memiliki sifatnya sendiri yang perlu dibimbing dan diarahkan supaya dia memiliki teladan dan patokan tentang “saat yang tepat” untuk melakukan sesuatu. Untuk segala sesuatu dimuka bumi ini ada waktunya. Ada waktu untuk makan, ada waktu untuk tidur, ada waktu untuk bermain, ada waktu untuk belajar, dan seterusnya hingga ada waktu untuk membangun, dan ada waktu untuk merusak. Ada waktu untuk marah dan ada waktu untuk mencintai.

Anak perlu belajar dan mengerti tentang konsep waktu sebelum dia mengerti tentang arti keteraturan, disiplin diri, pengendalian diri, dan toleransi terhadap orang lain. Dengan telaten orang tua harus mengajari dia dengan teladan yang baik tentang bagaimana dia bersikap dan kapan dia boleh bersikap seperti apa.

Seorang anak kecil seringkali diberi label “NAKAL” hanya karena dia belum mengerti kapan dia boleh berlari-lari dan kapan dia tidak boleh berlari-lari. Anak yang belum mengerti, harus dibuat mengerti. Seperti orang yang belum tahu, harus diberi tahu apa yang dia perlu tahu. Kemarahan dan caci maki dalam hal ini tidak membantu, tidak membangun, tidak benar, tidak baik, dan tidak suci. Apakah proses ini mudah? Jawabannya adalah TIDAK. Kita sendiri kadang perlu mengulang berapa banyak kali kesalahan yang sama, atau perlu berapa banyak kali mempelajari hal yang sama supaya kita bisa hidup dengan baik. Bagaimana mungkin kita bisa berharap bahwa siapapun termasuk anak kecil bisa diberi tahu sekali kemudian langsung jadi baik.

Terhadap orang yang tepat

Setiap orang tua harus peka dan menjadi teladan tentang kepada siapa kemarahan itu ditujukan. Seringkali kita marah kepada orang yang tidak tepat, kepada obyek yang tidak seharusnya, atau menyalahkan situasi/kondisi/orang lain untuk keteledoran yang kita perbuat. Jarang sekali kita dengan bijaksana dan berani mengambil tanggung jawab dan berkata pada diri kita sendiri, “Ini salahku, lain kali tidak boleh lagi terulang hal sedemikian. Aku akan berusaha berpikir lebih jauh dan lebih panjang dan melihat potensi dan aspek lain yang mungkin bisa menjadi salah di lain waktu untuk melihat segala kemungkinan supaya hal ini tidak terjadi lagi.

Dengan kesadaran diri yang tinggi dan kebijaksanaan untuk berani bertanggung jawab, hal itu akan membuat hidup kita sebagai orang tua memiliki integritas sebagai teladan. Sehingga orang tua tidak lagi berperilaku ketika anaknya terjatuh atau terbentur meja dan menangis, datang menghampiri anaknya dan kemudia memukul-mukul lantai atau meja yang membentur anaknya sambil berkata, “Nakal ya mejanya..!! Ini sudah dipukul meja yang membentur kamu… sudah jangan menangis ya.”

Dalam kasus tersebut, orang tua sudah mengajarkan anaknya bahwa yang salah bukan dia, tapi lingkungan; dan mereka yang salah boleh dipukul supaya aku tidak sakit. Bukan anak itu belajar bahwa dia yang harus berhati-hati, tetapi orang lain yang harus berhati-hati supaya dia tidak celaka. Jangan heran jika dia tumbuh dewasa dengan egois. Jangan heran orang tua yang sedemikian pasti egois. Karena buah tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya.

Konsisten dengan bobot dan nilai yang tepat

Pendidikan yang baik harus memiliki bobot dan nilai yang tinggi dan harus bersifat konsisten. Pendidikan yang tidak konsisten akan menjadi pendidikan yang bersifat sangat relatif dan sangat membingungkan. Orang tua yang mendidik dengan cara yang membingungkan akan menghasilkan anak-anak yang cuek dan pragmatis. Karena mereka tidak bisa melihat pola didik yang konsisten, mereka akan berhenti berusaha mengerti kemauan orang tuanya dan mengambil sikap tidak perduli.

Hal ini juga yang akan terjadi jika ayah dan ibu dirumah tidak memiliki pola didik yang sama. Ayah bilang boleh, sementara ibu bilang tidak boleh. Ditambah lagi kalau ayah atau ibu sedang dalam suasana hati yang jelek, apapun yang dikerjakan anak jadi serba salah dan dia kena marah, bahkan untuk hal-hal yang sebelumnya mungkin dipuji oleh orang tuanya.

Sebagai gambaran, ada anak kecil yang berulang-ulang menghilangkan bolpen yang dibawanya ke sekolah. Orang tuanya tidak pernah marah dan untuk anak itu, orang tuanya menyediakan sekotak bolpen murah yang boleh dipakai anak itu ketika bolpen dia hilang (lagi). Hingga suatu hari, kotak bolpen itu kosong dan habis isinya dan dia tidak punya bolpen. Serta merta dia mengambil bolpen ayahnya dari meja tulis dan membawanya ke sekolah. Sepulangnya dari sekolah, seperti yang sudah bisa kita tebak, bolpen ayahnya pun hilang. Dan ketika ayahnya tahu, murkalah si ayah dan menampar serta menghajar anak itu dengan keras karena harga bolpen itu sangat mahal.

Ayahnya marah karena dia merasa terganggu. Selama ini dia tidak mendidik si anak untuk bertanggung jawab, melainkan membiarkan dia teledor. Ayah ini sudah salah mengajarkan kepada anaknya tentang prinsip nilai; yaitu barang yang dianggap tidak berharga boleh disia-siakan. Anaknya tidak tahu tentang bolpen murah atau mahal, dia hanya tahu bahwa bolpen itu buat menulis. Sementara bolpennya habis dan belum dibelikan lagi oleh ayahnya, dia ambil saja bolpen lain yang bisa dia pakai.
Tidak ada konsistensi dalam didikan si ayah dan tidak ada pengajaran tentang tanggung jawab pribadi serta prinsip-prinsip yang bernilai tinggi dalam didikan si ayah. Si anak bahkan tidak tahu kenapa dia dipukuli dengan sangat keras, padahal biasanya kalau bolpen hilang, si ayah cuma tersenyum dan pergi membeli bolpen yang baru buat dia. Dia bahkan tidak tahu kenapa bolpen itu bisa hilang, sama seperti semua bolpen yang lain yang pernah dia hilangkan, itu bahkan bukan salahnya. Bolpennya itu sendiri yang entah pergi kemana.
Tapi hari itu si anak mendapatkan dirinya kesakitan untuk sesuatu yang tidak dia mengerti.

Pendidikan manusia dibahas dengan sangat tajam dalam buku orang Kristen. Dan tujuan pendidikan diterangkan dengan prinsip yang sangat ketat pula. Bahwa dasar pendidikan anak adalah untuk membentuk manusia seperti yang sebagaimana telah Tuhan rencanakan terhadap masing-masing orang seturut dengan bekal yang telah Tuhan berikan. Berhati-hatilah dalam mendidik anak-anak yang dipercayakan ke dalam keluarga kita. Didiklah diri kita sendiri dengan keras hingga kita bisa menjadi teladan yang baik sebelum kita siap mendidik jiwa yang kecil dan murni itu.

Jangan pernah marah dalam keadaan marah. Tapi marahlah karena kita perlu marah supaya ditanggapi dengan serius oleh anak didik kita. Kemarahan dalam intesitas yang berbeda akan memberikan penekanan tentang seberapa besar kesalahan yang dia perbuat. Kesalahan kecil jangan dibuat besar. Kesalahan besar jangan dibuat kecil. Didiklah anak-anak sesuai dengan prinsip keadilan yang memiliki kasih. Kasihilah anak-anak dengan prinsip kasih yang memiliki didikan.

Para orang tua, janganlah mendidik sampai membangkitkan marah dan sakit hati dalam hati anak-anakmu. Bilur dan memar di kulit mereka akan hilang, tapi luka dalam batin mereka akan merusak jiwa mereka. Tapi didikan yang keras, yang membangun jiwa mereka akan disyukurinya dan bilur dan memar yang pernah singgah di kulit mereka akan menjadi kebanggaan mereka.

Q: Apakah gunanya anak, peran serta dan tanggung jawab dia dalam keluarga?

ADalam hal ini, perlu dijelaskan terlebih dahulu apakah ‘ANAK’ itu. Setelah mengerti dan memahami apakah ‘ANAK’ itu, baru kita bisa mulai membicarakan kenapa dia ada, secara eksistensi. Baru kemudian bisa diketahui peran, fungsi, dan tanggung jawab dia di dalam keluarga yang adalah bagian terkecil dari masyarakat manusia.

Saya tidak memiliki perspektif, paradigma, dan presuposisi lain, selain daripada prinsip utama bahwa anak bukan hasil ciptaan orang tua menurut maksud dan tujuan orang tua, sehingga tujuan anak jelas bukan untuk mengerjakan pekerjaan yang telah dipersiapkan oleh kehendak keinginan orang tua. Seturut dengan hukum relasi pencipta-ciptaan, orang tua tidak memiliki hak mutlak dalam diri anak (seperti yang seringkali muncul dalam budaya timur). Setelah semua jelas tentang ‘ANAK’ itu BUKAN apa, baru kita dapat dengan jelas melihat apakah ‘ANAK’ itu.

Saya sangat menyukai istilah Bahasa Inggris untuk kata ‘melahirkan’, kata yang digunakan adalah delivery, terjemahannya adalah ‘mengantarkan’. Seorang ibu ‘mengantarkan’ seorang anak ke dalam dunia; Seorang anak diantarkan ke dalam dunia melalui rahim seorang ibu. Tidak ada unsur kepemilikan disana, seorang ibu merupakan ‘kurir’ pengantar. Anak bukan milik ibu, tapi untuk sementara dititipkan kepada ibu sebagai kepunyaannya untuk dipelihara. Demikian halnya seorang kurir yang mengantarkan paket, dia bertanggung jawab penuh selama paket itu berada di tangannya, dijagainya seolah-olah paket itu adalah milik kepunyaannya sendiri.
Seorang ibu pun demikian, menjagai anaknya, hingga sekali waktu anak itu menjadi besar dan dewasa untuk kemudian meninggalkan ayahnya dan ibunya, untuk menjadi satu dengan istrinya dan proses itu berulang kembali, terus menerus secara konsisten.

Selama anak itu berada dalam pengawasan ayah dan ibunya, anak itu akan dibekali dan dipersiapkan. Sama seperti semua kejadian yang boleh kita lihat disekitar kita dalam dunia binatang. Bedanya adalah bayi manusia perlu belasan tahun bersama orang tuanya sebelum dia bisa hidup sendiri.

Dalam pada masa itu, seorang anak dididik, disekolahkan, diberi pembelajaran di berbagai tempat. Dua institusi terbesar dalam kehidupan seorang anak adalah rumah dan sekolah, terkadang ditambah satu institusi lagi yaitu tempat ibadah. Di dalam kesemua institusi itu, apakah tanggung jawab dan peran anak? Belajar, dengan sebaik-baiknya, bukan untuk keuntungan siapapun juga melainkan demi dirinya sendiri dan masa depannya. Mempersiapkan diri dan dengan taat mengikuti didikan, ajaran, dan latihan yang diberikan oleh masing-masing institusi. Entah apakah setiap institusi mengerti tentang prinsip pendidikan atau tidak, apakah ajaran yang diberikan benar atau tidak, apakah ajaran yang disodorkan bernilai tinggi atau tidak, apakah didikan yang diajarkan itu baik dan dilakukan dengan baik serta memiliki motivasi yang baik atau tidak, anak hanya bisa menghormati dan menghargai semua itu di dalam ketidakmengertiannya. Hingga suatu kali nanti dia akan mampu untuk tunduk pada apa yang baik, dan benar, dan bernilai.

Anak adalah manusia kecil yang berpotensi menjadi pemberontak-pemberontak dan begundal-begundal pembuat keonaran jika tidak dididik dengan baik. Fakta ini yang membuat saya heran dengan pernyataan yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik. Jika manusia pada dasarnya baik, maka anak tidak perlu dididik, dia akan bertumbuh dengan baik; Sedangkan yang sudah sampai berusia dewasa saja sangat susah membuat dirinya sendiri menjadi baik, apalagi anak-anak.

Karena itulah setiap anak harus dididik dengan baik, dengan keadilan, dengan kasih, dengan keras dan tegas, secara bijaksana dan otoritas yang bertanggung jawab. Orang tua harus memberikan teladan dan didikan yang harus dia terima, dan anak harus mendengarkan didikan ayahnya dan tidak menyia-nyiakan ajaran ibunya. Tidak ada yang lebih celaka daripada seorang anak yang lebih suka melangkahkan kakinya ke jalan dan lebih menyukai ajakan temannya dibanding mencari kebijaksanaan. Tidak ada tindakan yang lebih merugikan diri sendiri yang bisa dilakukan oleh seorang anak selain menolak didikan dan ajaran dan hajaran orang tuanya.

Setiap tanggung jawab yang diberikan oleh pendidik, akan memberikan bekal yang baru akan disadari oleh anak tersebut di kemudian hari. Orang tua pernah menjadi anak, anak belum pernah menjadi orang tua. Pendidik sudah pernah menjadi anak, anak belum pernah mengalami perjalanan yang sudah dialami pendidik. Karena belum pernah tahu, jangan sok tahu dan merasa sudah tahu; karena belum pernah menjalani, jangan merasa bahwa apa yang diajarkan sekarang tidak penting.

Orang yang paling bodoh adalah merupakan orang yang paling berani di dunia. Dia tidak takut dan tidak bisa merasa khawatir. Khawatir hanya bisa dikerjakan oleh orang yang pintar dan tahu banyak. Anak-anak selalu memiliki kecenderungan untuk bersikap sedemikian, dia baru tahu sedikit, sudah merasa tahu banyak, dan merasa paling tahu. Gengsi dan harga dirinya mencegah dia untuk mengakui bahwa dia tidak tahu. Seperti tong yang berisi sedikit, lebih ribut daripada tong yang isinya banyak. Semakin sedikit isinya, semakin nyaring bunyinya. Seperti halnya padi, padi yang tidak berisi selalu padi yang berdiri paling tegak, padi yang banyak isi selalu menunduk seolah lebih hormat dan tahu diri; Anak muda juga banyak yang seperti itu, berjalan tegak dengan kepala mendongak, raport di sekolah sangat tinggi nilainya, merasa paling pintar di sekolah, merasa diri sudah sangat hebat. Mereka seperti katak dalam tempurung yang gagal melihat ada hal lain yang lebih besar di dunia ini, seperti kebijakan, moralitas, kebenaran, integritas, dan kehormatan sebagai hal yang hanya dapat diperoleh melalui perjalanan waktu dan tidak bisa dibayar dengan apapun selain daripada hidup mereka sendiri. Mereka belum melihat di dunia ini bahwa di atas yang paling hebat selalu ada yang lebih hebat.

Anak-anak yang tidak bisa mendidik dirinya sendiri, mengekang dirinya sendiri dan tekun, patuh, tunduk serta belajar sebaik-baiknya melalui didikan dalam institusi yang mendidik dia dan yang gagal dididik oleh orang tuanya, akan suatu hari dihajar oleh lingkungan dan masyarakat, oleh pengalaman pahit dan kesulitan besar. Dan pada saat itu, setiap pelajaran akan dibayar dengan harga yang sangat mahal.

Mereka yang tidak menghargai didikan, ajaran, dan hajaran yang bisa dibayar dengan kesulitan sedikit dan harga yang rendah, akan membayar dan menebus hidupnya di kemudian hari dengan harga yang tinggi. Mereka yang tidak bisa menghargai orang yang lebih tua, lebih senior, entah karena merasa lebih pintar, lebih bergelar, lebih berkuasa, atau lebih kaya, akan menerima banyak penghinaan dan dipandang rendah oleh orang bijak dan orang besar. Karena kekuasaan dan kekayaan yang dia dapat pasti berasal dari orang tuanya; dia hanya membanggakan hal yang tidak dia miliki, memetik yang tidak dia tanam, mendapat yang tidak dia cari.

Prinsip berikutnya yang menurut saya menjadi kunci utama pemahaman prinsip mengenai peranan orang tua dan peranan anak dalam keluarga adalah seperti yang ada dalam buku orang Kristen. Seorang anak harus menghormati ayahnya dan ibunya, dan tunduk mutlak hanya pada Tuhan yang menciptakan dia. Dia harus mengisi hidupnya dengan ajaran-ajaran yang praktis, dan memiliki ketaatan pada idealisme Tuhan yang telah menciptakan dia seturut dengan maksud dan tujuan Tuhan. Selain daripada itu, di dalam keluarga, tidak ada peran anak yang lebih penting dibandingkan peran orang tua dalam diri anak. Sebagai orang tua yang harus bertanggung jawab pada Tuhan yang sudah mempercayakan anak kepada mereka untuk dididik dan dibesarkan dan dibimbing untuk mengetahui tujuan hidupnya sendiri seturut dengan yang Tuhan mau. Tanpa prinsip ini, pendidikan berjalan tanpa arah yang jelas dan ujung-ujungnya hanya berakhir pada ambisi manusia berikut dengan kompetisi dalam hidup.

Q: Apakah peran anak dalam keluarga?

ATanpa presuposisi yang tepat, fungsi anak dalam keluarga bisa menjadi sangat keliru dan tidak pada tempatnya. Anak seringkali merupakan tumpuan orang tua yang bisa jadi di eksploitasi. Mulai dari penerus cita-cita dan ambisi orang tua, sebagai pemuas kebanggaan orang tua, sebagai investasi yang diharapkan memberikan keuntungan balik, sebagai asuransi dan penjamin serta perawat di hari tua, dan seterusnya. Beberapa anak yang tidak sesuai dengan harapan orang tua dianggap sebagai aib dan malapetaka dalam kehidupan orang tua; dan beberapa kasus terjadi penganiayaan terhadap anak.

Hal ini mengingatkan saya pada sebuah puisi tulisan Philip Larkin:

this-be-the-verse

Terjemahan bebasnya adalah sedemikian:

Mereka mengacaukanmu, ayah dan ibumu,
Mereka mungkin tidak bermaksud seperti itu, tapi itu yang terjadi,
Mereka mengajarimu segala kesalahan yang ada pada mereka,
Dan menambahkannya pula hanya khusus untukmu.

Tapi pada giliran terdahulu, mereka telah terkacaukan,
Oleh para orang bodoh yang kuno, dengan topi dan jaket kuno mereka,
Yang setengah dari waktu mereka digunakan untuk bersungut-sungut,
Dan setengahnya lagi saling mencekik.

Manusia menghadiahkan kepedihan pada manusia lain,
Dan setiap kali kepedihan semakin menggerus, mendalam seperti garis pantai,
Keluarlah dan pergilah dari mereka sedini mungkin,
Dan jangan ikut pula melahirkan anak-anak.

Tanpa pengertian yang tepat tentang posisi anak dalam keluarga, orang tua akan merusak generasi berikutnya. Entah dengan didikan yang keras tanpa kasih, atau kasih yang berlimpah tanpa keadilan. Didikan dan keadilan yang keras tanpa kasih adalah didikan yang kejam. Didikan yang penuh kasih tanpa keadilan adalah tidak mendidik dan lembek serta lemah. Kasih dan keadilan harus dijalankan dalam setiap didikan dan muncul bersamaan. Dalam setiap penghukuman dan disiplin, harus muncul kasih. Dalam setiap kasih sayang, harus ada keadilan dan ketegasan dan didikan didalamnya.
Karena itulah hukuman dan didikan yang dilakukan saat orang tua marah seringkali bersifat kejam dan malah tidak mendidik, karena tidak ada unsur kasih. Mengenai hal kemarahan orang tua, seringkali yang terjadi adalah kemarahan itu muncul karena kejengkelan, karena kebencian, karena merasa terganggu. Kemarahan yang sedemikian sama sekali tidak bertanggung jawab serta sangat merusak, karena bagaimana mungkin bisa ada kasih dan didikan dalam kemarahan itu jika alasan dan motivasi marahnya pun sudah salah. Kemarahan yang seperti itu hanya menimbulkan luka dan kebencian dalam diri anak. Persis seperti puisi di atas.

Anak berhak mendapatkan kesempatan dan hak untuk berjuang melawan kesulitan. Socrates mengatakan, “The unexamined life is not worth living.” (Terj: Hidup yang tidak teruji tidak cukup berharga untuk dihidupi.) Anak yang terlalu dimanja dan dilindungi membentuk manusia yang lembek dan tidak tegar.

Kita semua pernah mendengar ilustrasi tentang pohon yang terus berada dalam rumah kaca, dengan akar yang kecil dan ketika dia sudah terlalu besar untuk terus berada dalam rumah kaca, pohon itu terpaksa dipindah keluar dan ketika angin keras bertiup, akarnya yang kecil tidak dapat menahan tiupan angin. Dengan segera pohon itu roboh. Ilustrasi yang lain tentang kupu-kupu dari kepompong yang harus berjuang keras untuk keluar, yang ketika dibantu supaya dia dengan mudah bisa keluar dari dalam kepompong, malah kemudian mati saat sudah di luar kepompong. Ilustrasi lain adalah emas yang makin dibakar, semakin murni, dan emas yang murni tidak pernah takut untuk diuji dengan api karena semakin panas api, semakin murni emas tersebut.
Saya bisa terus memberikan ilustrasi lain, tapi saya yakin maksud saya sudah jelas dimengerti.

Sayangnya, banyak anak orang kaya yang dibiarkan dan dimanja sedemikian sehingga mentalnya rusak, etikanya tidak beres, kelakuannya idealis dan tidak bernilai, gaya hidupnya sembarangan dan moralitasnya rendah. Terlebih lagi, orang tuanya tidak tahu atau tidak menyadari hal itu, dan tidak menyadari dampaknya bagi kehidupan masa depan anak itu sendiri. Bahkan beberapa orang tua sangat bangga bisa membesarkan anaknya secara demikian.

Perhatikanlah, anak-anak yang tidak diijinkan untuk berjuang keras dalam hidupnya, tidak pernah merasakan manisnya roti yang diperoleh dengan jerih payah, tidak pernah merasakan betapa nikmatnya bisa merebahkan diri untuk beristirahat di saat pulang rumah di petang hari, mereka tidak akan pernah memiliki kalimat yang menarik untuk didengarkan. Manusia yang sedemikian tidak pernah akan memiliki hidup yang bisa menginspirasi orang lain; memotivasi, mungkin. Menginspirasi? Tidak akan pernah.

Apakah peran anak dalam keluarga? Saya rasa pertanyaan ini tidak tepat jika tanpa di dahului dengan pengertian tentang fungsi dan peranan orang tua dalam keluarga.
Orang tua yang harus bisa mengerti anak. Bukan anak dituntut untuk mengerti orang tua. Bagaimana mungkin seorang anak bisa mengerti orang tuanya, seperti bagaimana seorang anak sekolah dasar sanggup mengerti gurunya yang seorang profesor. Tuntutan orang tua terhadap anak, meminta anak untuk mengerti orang tua adalah salah satu kesalahmengertian orang tua tentang segala konsep didikan.

Yang seharusnya menjadi pertanyaan adalah apakah peranan orang tua dalam mendidik anak yang dilahirkan dalam keluarganya. Apakah tanggung jawab orang tua terhadap seorang manusia dengan jiwa dan nyawanya, yang telah dimunculkan ke tengah dunia ini melalui rahim ibunya.

Peran Penting Pendidikan Dalam Keluarga

Pendidikan anak selalu menjadi hal yang penting dalam banyak keluarga. Tidak hanya hal yang berkenaan dengan sekolah ataupun pendidikan formal saja, melainkan pendidikan seorang anak sebagai anggota keluarga, aturan moral, sosial, disiplin, dan banyak hal lain yang perlu diajarkan kepada seorang anak.

Sadarkah para orang tua, bahwa pendidikan yang terpenting untuk seorang anak bukanlah pendidikan formal. Melainkan pendidikan moral, ketrampilan sosial, dan yang terutama, adalah pendidikan spiritual. Dengan apakah kelakuan seseorang dijaga? Tidak lain adalah dengan takut akan Tuhan (menurut buku Kristen yang saya baca). Seseorang dapat dibekali dengan segala pengertian moral yang tertinggi, etika teragung, filsafat terbaik, ketrampilan sosial dan kesopanan yang paling beradab, namun tanpa kegentaran pada Tuhan, langkahnya akan jauh dari kebenaran. Tanpa takut akan Tuhan, segala pengetahuan dan pengertian yang dia miliki hanya akan menjadi alat rasionalisasi untuk membentuk segala alasan pembenaran diri yang membungkam hati nuraninya terhadap keadilan dan kebenaran. Buktinya? Betapa banyak orang yang katanya beragama yang kemudian melakukan banyak hal yang sangat tercela tanpa merasa bersalah, semakin tinggi pendidikan, pengertian dan pengetahuan seseorang, semakin besar kerusakan yang dia buat dan semakin licin dia menipu dirinya dan semua orang disekitarnya.

Tidak berarti bahwa pengetahuan formal itu tidak penting. Tentu saja pengetahuan formal itu penting, akan tetapi janganlah sampai yang terpenting dikalahkan oleh yang penting. Disinilah letak pentingnya bijaksana. Dunia ini membutuhkan orang yang bijaksana, bukan orang yang pintar. Dan bijaksana adalah kebijakan yang dari ‘sana’, bukan dari ‘sini’.

Apakah gunanya memiliki segudang data yang menyusun informasi, yang menjadi dasar pengetahuan dan pengertian, jika tidak memilki bijaksana dengan moralitas yang baik. Pistol ditangan penegak hukum tidak terlihat membahayakan jika dibandingkan dengan pistol yang sama berada ditangan penjahat. Demikian pula dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal yang baik dan dapat digunakan untuk kemajuan peradaban, hal yang sama dapat dengan mudah diputarbalikkan dengan berbagai macam alasan dan rasionalisasi untuk mencelakakan manusia yang lain dan masyarakat.

Anak yang baik selalu bermula dari pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik selalu bermula dari keluarga yang baik. Keluarga yang baik selalu bermula dari orang tua yang baik, dan orang tua yang baik bermula dari kepala keluarga yang baik. Kepala keluarga yang baik selalu adalah pria yang dengan integritas baik yang memiliki peran yang tepat dan efektif sebagai suami bagi istrinya, dan ayah bagi anak-anaknya; Dan tidak ada suami dan ayah yang baik tanpa dukungan istri yang menjadi penolong yang sepadan bagi sang suami serta menjadi ibu yang penuh kasih bagi anak-anaknya. Pendidikan harus selalu mulai di dalam keluarga sebagai inti terkecil dalam masyarakat manusia. Begitu pendidikan dalam keluarga gagal, setiap manusia dalam keluarga itu mengambil peran dan berbagian dalam perusakan masyarakat.

Jika kita sering mendengar kalimat bahwa pengaruh lingkungan yang buruk memberikan dampak buruk bagi individu, maka siapakah ‘lingkungan’ itu selain daripada manusia yang muncul dari dalam setiap keluarga yang gagal. Seringkali kita dengan ringan dan mudah, mencetuskan pembelaan diri bahwa anak kita dirusak oleh lingkungan, bahwa suami kita dipengaruhi lingkungan, bahwa istri kita terbawa dalam lingkungan; maka kita harus kembali pada satu prinsip yang utama, jika keluarga memiliki moralitas yang baik, didikan yang baik, integritas yang baik, takut akan Tuhan, maka kita akan bisa yakin bahwa keluarga kita tidak akan berbagian dalam kerusakan ‘lingkungan’.
Dunia kita akan selalu rusak, dan semakin hari akan semakin rusak, dan tidak akan membaik. Dan mengunci diri kita secara sempit dalam paranoia dan ketakutan, menjauhkan diri dari dunia global karena ketakutan akan terpengaruh, memaksa diri hidup dalam gelembung dan rumah kaca yang terlindungi adalah tindakan yang bukan saja kurang bijaksana, melainkan juga kurang berakal sehat. Yang seharusnya dilakukan adalah membekali diri, dengan bijaksana yang tertinggi, integritas yang terbaik, moral yang agung, kemudian terjun ke dalam masyarakat luas, dan berbagian membentuk lingkungan supaya menjadi lebih baik. Bukannya hanya bisa menyalahkan lingkungan sementara kita menganggap lingkungan sebagai sumber kecelakaan kita.
TIdakkah setiap agama dan filsafat mengajarkan setiap manusia untuk menjadi berkat bagi lingkungan sekitar hingga ke seluruh dunia? Lalu apa yang mau kita capai dengan bergaul secara eksklusif untuk melindungi diri kita supaya katanya tidak tercemar dan hidup bagai katak dalam tempurung. Dan bukan hanya mengunci lingkungan secara ekslusif, kita mulai membenci semua orang yang tidak sama dengan kita, dalam fanatisme yang tidak berakal, kita mengumpulkan semua orang yang sama dengan kita dan membuat golongan sendiri yang katanya mau membuat masyarakat yang lebih baik. Hasil yang didapat bukan menjadi berkat, tapi membuat permusuhan dengan semua yang berbeda dengan kita, kemudian kita menjadi bagian dari ‘lingkungan’ yang merusak masyarakat.

Fenomena seperti inilah yang saya maksudkan ketika saya membicarakan tentang kebenaran yang sejati dalam paradoksnya. Semua pemikiran yang tidak sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran yang tidak benar-benar BENAR, memiliki kontradiksi di dalam dirinya sendiri yang tidak bersifat universal, melainkan sebuah kebenaran yang parsial yang tidak bisa berlaku secara integral. Kebenaran semu yang sedemikian akan merusak dirinya sendiri.

Sekarang telah terlihat betapa pentingnya peran keluarga dalam pendidikan manusia. Hal ini juga disadari oleh dunia psikologi dan filsafat, dunia pendidikan dan agama; bahwa seorang anak harus mendapatkan didikan pertama yang benar-benar BENAR dari figur otoritas pertama yang dia kenal. Yaitu dari ayahnya dan ibunya. Didikan pertama (yang dikenal dengan istilah FIRST DECREE) ini merupakan fase yang sangat penting, seperti ‘kesan pertama’ yang mula-mula kita dapatkan tentang seseorang akan membuat sebuah cetakan dan penilaian yang bisa mempengaruhi dinamika hubungan antar individu secara permanen. Kesan pertama yang keliru akan memberikan dampak negatif yang bertahan lama dan susah dirubah; demikian pula halnya dengan didikan pertama ini. Didikan yang pertama dan mula-mula inilah yang akan dibawa anak-anak sepanjang usianya. Sebagian keluarga yang cerdas dan kritis, akan membentuk pengertian dan pemahaman yang baik untuk anak-anaknya dan mewariskan nilai-nilai dengan pengertian dan pemahaman yang berdasar. Sementara keluarga yang lain akan membentuk pengertian dan pemahaman otoritatif dan berakhir dalam prinsip fanatisme yang membabibuta.

Terlepas dari berbagai metode dan pola pendidikan dalam keluarga, pentingnya first decree dalam usia 0 (nol) hingga 7 (tujuh) tahun ini sangat mempengaruhi pertumbuhkembangan anak-anak dalam sebuah keluarga. Anak-anak yang dididik oleh orang tuanya, dengan nilai yang ditanamkan oleh orang tuanya, akan lebih mempermudah proses pendidikan dan penanaman didikan di fase-fase berikutnya. Namun seringkali hal ini diabaikan oleh banyak orang tua, Mereka sering menganggap bahwa anak masih kecil, belum mengerti apa-apa, biarkan orang lain yang mendidik, nanti setelah mereka mulai lancar berbicara dan lebih besar, baru orang tua mulai menggantikan dan mulai mendidik. Hal ini sangat fatal.

Jangan pernah membiarkan anak dididik oleh orang lain selain oleh orang tuanya sendiri. Karena segala permasalahan dengan kepribadiannya di masa yang akan datang akan menjadi kesalahan dan penyesalan orang tua yang terbesar. Orang tua akan menjadi terheran-heran kenapa seorang anak susah diarahkan dalam pola hidup tertentu, kenapa seorang anak memunculkan perilaku tertentu, dan seterusnya; tanpa orang tua menyadari bahwa dia sudah melewatkan kesempatan untuk membangun dasar fondasi bagi bangunan hidup si anak. Tanpa mengenali fondasi yang diletakkan, bagaimana sebuah bangunan dapat didirikan.

Sekali lagi, ‘lingkungan’ yang disalahkan. Orang tua tidak pernah bersalah tampaknya.
Terutama jika orang tua sendiri mengalami kegagalan mengenali maksud dan tujuan keberadaan seorang anak diantarkan ke dalam dunia ini melalui rahim seorang ibu, dalam sebuah keluarga.
Seringkali, orang tua menganggap seorang anak sebagai penerus cita-cita, penerus ambisi, penerus keinginan orang tua. Anak adalah hiburan dan mainan dan kebanggaan di masa muda, asuransi di masa tua, perawat dan pembantu di hari tua, dan hanya itu. Seorang anak sudah dirawat dengan baik, dituntut balas jasanya di kemudian hari; padahal, jika seorang anak dibesarkan dengan keadilan dan kasih yang dijalankan dengan bijaksana, dan orang tua boleh menjadi teladan yang agung dan berintegritas baik serta memiliki hidup yang suci, tidak mungkin seorang anak dalam naturnya akan menyia-nyiakan orang tuanya hingga sampai perlu dituntut untuk membalas jasa orang tua yang telah membesarkan dia.

Namun seringkali, hal itu menjadi tema utama dan orang tua sangat ketakutan jika masa tuanya sendirian lemah tak berdaya dan tidak ada yang merawat dia; seringkali itu yang dijadikan permasalahan besar dan alasan utama dalam pertimbangan untuk memiliki anak. Seolah anak diciptakan oleh orang tua, menurut maksud dan tujuan orang tua, serta mengerjakan pekerjaan yang telah dipersiapkan oleh orang tua sejak sebelumnya. Dan orang tua menjadi tuhan atas diri anak.

“Children begin by loving their parents; as they grows old, they judge them. Sometimes, they forgive them.”  – Oscar Wilde

Terjemahan: Anak-anak selalu bermula dari mengasihi orang tuanya; dan ketika mereka beranjak dewasa, mereka mulai menilai orang tuanya. Kadang kala, mereka memaafkan orang tuanya.

Didikan dalam keluarga adalah hal yang paling susah, karena sebagai pendidik, orang tua dituntut secara konsisten memiliki perilaku yang sejalan dengan apa yang mereka ajarkan dan didikkan. Dan dengan segera, anak-anak akan melihat betapa kehidupan orang tuanya adalah omong kosong dan mereka mulai merasakan ketidakadilan dalam didikan orang tua. Perilaku orang tua yang sembarangan mendatangkan penghakiman bagi dirinya. Namun sebaliknya, orang tua yang hidup suci dan berintegritas akan mendapat penghargaan dalam diri anak, dan orang tua akan menjadi teladan dan idola.

Karena itu, didikan yang pertama dan terutama haruslah didikan moral, bukan ilmu pengetahuan. Didikan tentang etika dan nilai yang agung, bukan tentang materialisme. Didikan dan bekal tentang takut akan Tuhan, bukan menanamkan bibit eksklusifitas dan menarik diri dari ‘lingkungan’.

Buku Kristen dengan sangat singkat dan tajam merangkum isi tulisan ini sedemikian, didiklah anakmu takut akan Tuhan di jalan yang harus dia tempuh, maka seumur hidupnya dia tidak akan menyimpang dari jalan itu. Bekalilah dia dengan didikan dalam iman dan kebijaksaan yang akan muncul dalam pengertiannya karena takut akan Tuhan adalah awal dari segala pengetahuan. Maka hidupnya di dalam Kristus akan menjadi garam dan terang (menjadi berkat bagi) dunia, yang dengan bijaksananya memiliki hidup yang tidak seperti kehidupan dalam dunia ini.

Tentu saja setiap orang boleh memiliki pandangan yang lain dari/terhadap tiga kalimat tersebut.
Tentu saja saya tidak keberatan. Saya hanya kebetulan menemukan intisari itu dalam buku yang saya baca.

Esensi Belajar dan Bekerja

Berikut ini adalah salah satu paradigma dasar dalam dunia pendidikan yang harus dibenahi. Yaitu alasan mengapa setiap orang perlu sekolah, supaya bisa memiliki ketrampilan untuk bekerja. Ada dua hal yang harus seumur hidup kita kerjakan, yaitu: belajar dan bekerja. Kita belajar dan bekerja untuk supaya bisa hidup. Terus belajar, terus bekerja, selama masih perlu hidup.

Hidup adalah untuk belajar dan bekerja. Belajar dan bekerja adalah untuk hidup. Dua hal ini tidak bisa lepas dari kehidupan manusia karena itulah tujuan hidup manusia. Tidak banyak hal yang tidak bisa di atasi dengan bekerja, dan kalimat tersebut barusan sama sekali tidak ada urusannya dengan uang.

Namun seringkali yang kita dengar adalah kita perlu sekolah supaya menjadi pandai. Mengapa perlu pandai? Supaya bisa bekerja. Jadi mengapa perlu bekerja? Seringkali alasan pertama adalah, “Supaya bisa cari uang.” Mengapa perlu cari uang? Sekali lagi, seringkali adalah, “Supaya bisa sukses.” Dan sukses selalu seringkali di ukur dengan jumlah harta yang dimiliki.

Kita mulai belajar tidak hanya di sekolah. Melainkan juga di rumah. Sejak lahir kita belajar. Kita mulai dengan belajar melihat, meraba, mendengar, menirukan, dan seterusnya. Kita mulai belajar mengenali benda, berbicara, mengingat nama, dan seterusnya. Kita mulai belajar apa yang boleh kita lakukan dan yang tidak boleh kita lakukan, mulai belajar membedakan konteks dengan konten, mengerti konsep nyata dan abstrak, dan seterusnya. Belajar tidak boleh selalu dihubungkan dengan sekolah. Sekolah adalah permulaan bagi kita untuk belajar bagaimana cara belajar. Setelah lulus dari bangku sekolah pun kita masih harus terus belajar. Dengan memahami sistematika belajar, kita akan lebih mudah mempelajari apapun yang perlu kita pelajari untuk membantu kita menjalani hidup.

Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran formal di sekolah saat berusia 7 (tujuh) tahun. Setelah jenjang formal selesai, kita masih harus terus belajar, mengikuti dan beradaptasi dengan segala sesuatu yang berubah disekitar kita, baik secara fisik, secara mental, sosial, pekerjaan, ketrampilan, dan seterusnya. Kita belajar bersosialisasi, berkomunikasi, beradaptasi dengan lingkungan baru, dengan rekan kerja, atasan dan bawahan, dan pasangan lawan jenis.

Hidup kita tidak henti-hentinya berubah dari satu tahapan kepada tahapan yang berikutnya. Menikah dan memiliki anak menuntut pembelajaran lagi, dan hingga tua, kita masih harus belajar, beradaptasi dengan kekuatan fisik dan mental yang mulai menurun, berusaha menjalankan fungsi hidup dengan cara yang berbeda.

Kita tidak pernah berhenti belajar. Selalu harus belajar mengatasi perubahan yang terus terjadi dari waktu ke waktu. Marilah kita perhatikan, bahwa ternyata tidak ada satu pun aspek hidup kita di desain untuk mengarahkan kita menjadi kaya. Kalaupun kita mengarahkan hidup kita untuk menjadi kaya, tidak ada satupun dalam proses pembelajaran yang kita lakukan tersebut yang berkenaan dengan hidup ini yang mengarahkan kita secara langsung untuk menjadi kaya secara materi. Dikatakan “kaya secara materi” karena ada kekayaan lain yang berbeda. Kaya secara intelektual, kaya secara spiritual, kaya secara moral, atau kaya secara ketrampilan. Semua yang kita pelajari dalam hidup ini mengarahkan kita untuk menjadi kaya dalam hal-hal yang baru saja saya sebutkan tadi. Semua kekayaan itu sejalan dengan natur hidup kita dan mengarahkan kita kepada HIDUP, serta berkenaan langsung dengan penambahan dan menaikkan nilai-nilai dalam seluruh aspek-aspek yang berada dalam hidup kita. Menuntun kita dari hidup, kepada hidup yang lebih tinggi.

Itulah yang selalu kita kerjakan. Sambil kita belajar, kita pun sedang bekerja untuk meningkatkan nilai hidup kita. Bekerja adalah merupakan natur dalam hidup manusia. Bekerja seharusnya adalah sesuatu yang terjadi secara natural, sama seperti kita bernapas dan makan. Bekerja adalah sebuah kebutuhan hidup. Tubuh kita tidak di ciptakan untuk tidak melakukan apa-apa dan menganggur. Semakin banyak kita menganggur dan tidak melakukan apa-apa, semakin buruk jadinya bagi fungsi tubuh kita. Semakin malas kita menggerakkan tubuh kita, semakin kita jauh daripada HIDUP.

Itulah tujuan dari belajar. Persis sama dengan proses kita bersekolah, dari kelas yang rendah, naik kepada kelas yang tinggi. Dari yang dulunya tidak bisa, naik menjadi bisa. Dari yang dulunya kurang ‘hidup’, menjadi lebih ‘hidup’. Dari bayi yang hanya bisa menangis dan berteriak, menjadi manusia dewasa yang bisa mengurus segala sesuatunya sendiri. Dari bayi yang tidak bisa bekerja, menjadi manusia dewasa yang bisa bekerja mengurus kebutuhan dan mencukupkan diri.

Sedangkan perihal menjadi kaya secara keuangan, itu adalah jalur yang berbeda dengan apa yang kita jalani ketika kita sedang mengarahkan jalan kita kepada hidup seperti yang sudah saya uraikan tadi. Kita harus dengan sengaja mengambil jalur hidup yang sama sekali berbeda ketika kita mau dengan sungguh-sungguh mengejar kekayaan. Sebuah jalur hidup yang mengarahkan kita kepada dunia materi. Jalan yang menuntun kita dari hidup, kepada yang mati. Tidakkah kita sadari bahwa jika mau dengan jujur kita renungkan, kita menempuh jalan yang memiliki kesulitan-kesulitan yang sebenarnya tidak perlu untuk mengejar kekayaan dan menumpuk harta yang sebenarnya untuk mengisi kekosongan hidup dan perasaan serakah serta kekhawatiran akan hari depan.

Kita sebenarnya ingin untuk memiliki hidup yang baik, yang berguna, yang bisa berkarya. Namun kemudian kita menoleh kepada sekitar kita dan mulai membandingkan diri kita dengan orang lain dengan semangat kompetisi yang tertanam dalam diri kita berikut dengan sifat iri, serakah, dan tidak mau kalah dengan orang lain. Sifat yang seolah-olah yakin bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang sama dengan modal yang sama, atau bahkan kita menilai diri kita lebih daripada orang lain. Kita ingin memilik harta yang lebih banyak atau paling tidak sama dengan orang lain. Sehingga kita memaksakan diri membeli semua barang yang kita tidak perlu, seringkali dengan uang yang tidak kita miliki, agar dapat membanggakannya di depan orang yang seringkali kita tidak kenal atau tidak kita sukai, supaya kita bisa membuat iri orang di sekitar kita; Dan ketika orang di sekitar kita benar-benar menjadi iri, kita mulai mengeluhkan hal tersebut.
Padahal kita mengerti betul bahwa orang-orang yang paling penting dalam hidup kita tidak membutuhkan itu semua, mereka mau menerima kita apa adanya dan mereka menghargai kita. Teman yang sejati, keluarga, sahabat baik, mereka yang berada dekat dengan kita pada saat suka dan duka, apakah mereka perduli berapa besar kekayaan kita?

Kita pasti sering mendengar kisah orang-orang yang “sukses” (baca: KAYA); ada yang dari keluarga miskin, tidak mendapat kesempatan bersekolah, tapi dia berjuang dengan berdagang, atau mendirikan usaha yang kemudian maju dan dia menjadi kaya. Kisah-kisah seperti itu menarik untuk beberapa saat dan lenyap ketika dia jatuh bangkrut atau meninggalkan dunia ini. Kisah yang bertahan seketika saja untuk sementara waktu sampai tergantikan dengan kisah sukses yang lain. Dan ketika dia mati, tidak ada orang yang mengingat namanya.
Kisah-kisah yang demikian banyak sekali mengemukakan bahwa untuk menjadi kaya, tidak harus selalu sekolah. Banyak yang putus sekolah tapi juga bisa menjadi kaya. Jadi jelas sebuah kesalahan besar jika anak-anak disekolahkan supaya bisa bekerja untuk menjadi kaya.

Anak-anak yang disekolahkan itu akan menjadi pintar. Dan pintar tidak akan membuat dia kaya. Untuk menjadi kaya, dia harus menggunakan kepintarannya di dalam jalan yang berbeda. Mereka menggunakan seluruh hidupnya bekerja untuk dirinya sendiri dan hanya untuk dirinya sendiri. Ironisnya, mereka tidak kekurangan dalam hidupnya tapi mereka tidak bisa menikmatinya, mereka akan melihat orang lain yang akan menikmati hartanya dan tidak ada yang bisa dia lakukan, sementara dia sendiri bekerja keras dan memikul segala beban yang tidak perlu dan resiko yang tidak semestinya.

Kita juga pasti pernah mendengar kisah orang yang besar, yang agung, yang namanya dimuat dalam sejarah, yang tidak seorang pun dari mereka dinilai dari uang yang mereka hasilkan, mereka adalah orang-orang yang “sukses” dalam wilayah yang hidup. Mereka sukses dalam kehidupan mereka dan dunia mengakui nama mereka sebagai orang yang mulia. Entah karena kebaikan mereka, pengorbanan mereka, keagungan moral dan spiritual mereka ditengah-tengah kesulitan hidup dan berhasil melampaui itu semua untuk kemudian mengarahkan hidup mereka kepada HIDUP dengan kualitas yang diakui seluruh dunia. Mereka yang namanya dikenang oleh sejarah, yang buku biografinya dibaca selama puluhan tahun bahkan ratusan tahun setelah dia mati.
Mereka adalah orang-orang yang bekerja untuk menghasilkan sesuatu dalam hidupnya bagi orang lain. Mereka yang bekerja dalam kesenangannya, mengerjakan yang dia sukai sesuai dengan bakatnya, makan sedikit ataupun makan banyak, mereka tidur dengan nyenyak dan menikmati hidupnya dan hasil kerjanya.

Sekarang, definisi “sukes” yang mana yang sebenarnya ingin kita capai?
Pendidikan macam apa dan kehidupan seperti apa yang ingin kita jalani. Apakah kita mau mendidik hidup kita dan mengarahkannya kepada hidup, atau kita mau mengarahkannya kearah yang lain?
Apakah kita mau mengarahkan seluruh hidup kita untuk diri kita sendiri, egoisme pribadi, keinginan diri sendiri; Ataukah kita mau membagikan hidup kita untuk orang lain, menjadi berkat bagi orang lain, atau paling tidak memiliki hidup yang bisa kita nikmati dengan mengerjakan hal-hal yang menjadi bagian kita?
Dengan cara apa kita hendak mendidik generasi dibawah kita, anak-anak kita, anak didik kita?

Saya yakin bahwa jawabannya adalah mengarah kepada hidup.
Saya juga cukup yakin, setelah selesai dengan menjawab, mata kita melihat semua orang di sekeliling kita, kemudian kaki dan tangan kemudian melangkah dan menunjuk ke arah yang lain. Sangat bisa dimengerti, karena sepanjang sejarah, itulah semangat yang dikumandangkan sepanjang sejarah melalui filsafat humanisme, materialisme, dan hedonisme. Karena akar dari segala hal yang berada di dalam dunia ini adalah cinta diri sendiri dan cinta kepada uang.

Kebahagiaan hidup adalah pencernaan yang baik dan tidur yang nyenyak.