Q: Bagaimana mungkin tidak ada seorangpun yang baik?

ABerbicara tentang kebaikan hampir selalu mengarah pada hal yang sifatnya lebih kepada pembicaraan filsafat dan teologi sebagai ujung terakhir. Sadar ataupun tidak sadar, kita berbuat baik karena ada tuntutan dalam diri kita, suara hati nurani dan kesadaran yang menganiaya kita, menuntut kita untuk melakukan hal yang baik seturut dengan pengertian yang kita miliki, dan terlebih lagi untuk menghindari perasaan bersalah yang akan menjauhkan kita dari ketenangan diri. Hati nurani dan kesadaran akan perasaan bersalah adalah sebuah konsep pengertian akal budi yang hanya dimiliki manusia, jauh di dalam jiwa kita tentang penghukuman dan pembalasan yang setimpal dengan perbuatan kita.

Dalam pengertian akan penghakiman dan penghukuman serta pembalasan itulah setiap orang, pribadi lepas pribadi, masing-masing orang sepanjang sejarah di sadarkan akan konsep ‘keselamatan’ dalam ‘kehidupan setelah kematian.’ Itulah yang mendorong orang untuk berbuat baik. Namun tidak ada yang baik, tidak ada yang sanggup berbuat baik dalam kebaikan yang sempurna. Tidak ada seorang pun memiliki kebaikan yang bisa dipertimbangkan sebagai alasan bagi dia untuk boleh diselamatkan. Itu adalah kesadaran yang mengerikan bagi orang sepanjang sejarah, sehingga muncullah perlawanan terhadap figur tuhan karena tuhan sangat mengganggu eksistensi manusia. Jika tidak ada tuhan, maka tidak ada penghakiman. Siapa pula tuhan itu sehingga dia berhak seenaknya menentukan nasib manusia. Manusia bahkan tidak tahu apakah dia ada atau tidak. Hal-hal inilah yang dibahas oleh agnostisisme.

Namun sekali lagi, hati nurani, moralitas, kesadaran dan perasaan bersalah terus menegur jiwa manusia. Walaupun pragmatisme berusaha membunuh suara hati nurani, namun suara itu hanya membungkam, tidak pernah mati. Itulah sebabnya tidak pernah luntur dalam sepanjang sejarah manusia, upaya manusia berbuat baik supaya dia boleh diterima dalam kehidupan yang baik sesudah kematian. Tapi sebagian kita menyadari bahwa perbuatan baik tidak bisa menyelamatkan kita, karena alasan yang sangat sederhana dan mudah, “tidak ada yang baik, seorang pun tidak. Hanya TUHAN yang baik.”

Sebenarnya pertanyaan ini memiliki antitesis, “Siapakah yang bisa dikatakan baik?” Dan antitesis itu membawa tiap orang kepada satu perenungan, “Apakah baik itu?”

Serta merta kita akan menyadari bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Kebaikan yang kita lakukan adalah sangat terbatas, berlaku sementara, dan terpecah-pecah. Baik bagi satu orang, belum tentu baik bagi orang yang lain. Orang hanya akan mengatakan kita baik jika kita menguntungkan atau melakukan hal yang dia sukai. Kita hanya bisa dikatakan baik dalam satu waktu dan kondisi tertentu, tapi tidak dalam totalitas keseluruhan hidup kita.

Siapakah yang berani berkata, “Aku ini orang baik.” Dia yang berani berkata sedemikian sudah pasti tidak baik, satu hal yang pasti, dia adalah pembohong. Atau tentu saja, jika dia gila. Agama menuntun kita untuk melakukan perbuatan kebaikan supaya kita boleh diselamatkan (baca: pergi kepada tuhan, di sorga, di nirvana, di langit, dan seterusnya), namun semua agama sendiri menyadari bahwa kebaikan tidak mungkin dilakukan secara universal, secara integral, oleh setiap orang.

Ketika seseorang bersedekah terhadap pengemis, ada banyak pengemis lain yang tidak mendapat sedekah dari kita. Ketika kita membantu anak yatim piatu, ada ratusan anak yatim lain yang tidak mendapat kebaikan dari kita. Kita tidak akan pernah bisa menyenangkan semua orang.
Ketika kita menolong seseorang, ada puluhan orang yang datang kepada kita yang tidak sanggup kita tolong. Jadi bagaimana kita bisa menjadi baik secara utuh dan sempurna supaya kita boleh diselamatkan? Semakin kita berusaha baik, semakin tidak baik kita jadinya.

Sebagian besar kita tidak menyukai mereka yang hanya berbuat baik pada kita karena sedang ‘ada maunya.’ Kita jengkel karena kita merasa diperalat. Datang membawa bingkisan dan hadiah kecil, supaya kita membalasnya dengan melakukan sesuatu untuk mereka. Kita juga tidak senang jika kita datang kepada seseorang untuk meminta bantuan, kemudian malah kita diperas dan diminta untuk memberikan bingkisan. Perbuatan baik dengan motivasi tertentu tidak bisa dikategorikan sebagai kebaikan.
Tapi tidakkah itu yang dilakukan oleh orang yang katanya beragama? Agama ‘mengajarkan’ cara untuk memperalat tuhan, berbuat sedikit kebaikan supaya tuhan mau menyelamatkan kita dan membawa kita ke surga. Perbuatan baik kita tidak pernah lepas dari motivasi tertentu, entah tersembunyi atau mungkin terang-terangan.

Karena kesadaran akan ketidakmungkinan untuk melakukan kebaikan secara sempurna, pemikiran curang manusia menambahkan pengajaran baru, bahwa akan ada “pengadilan” yang menimbang perbuatan baik kita terhadap perbuatan buruk kita. Melebih-lebihkan nilai perbuatan baik kita di hadapan tuhan, seolah kita layak atau bahkan berjasa kepada tuhan. Padahal di dalam segala hal ada relasi pencipta-ciptaan yang berlaku di alam semesta ini, dan adalah kegagalan di titik pertama ketika munculnya pemikiran bahwa kita memiliki kemungkinan untuk memiliki jasa dihadapan pencipta kita.
Tapi baiklah kita bahas pula kemungkinan ini. Benarkah kebaikan kita bisa lebih banyak atau paling tidak sama banyak dengan kejahatan dan kesalahan kita?

Ilustrasi kecil:
Apakah saja syarat murid sekolah yang baik? Patuh pada guru. Hormat pada yang lebih tua. Tidak mencontek. Tidak berbohong. Tidak mengganggu teman. Belajar yang rajin. Datang sekolah tepat waktu. Menjaga ketertiban sekolah.
Jika seorang anak melakukan kesemuanya dengan sempurna, tapi suatu hari dia datang sekolah terlambat, dengan sejuta alasan yang valid dan masuk akal. Apakah dia masih bisa dikatakan sebagai murid yang baik? Jika selama dia bersekolah selama 300 hari selama setahun, dia tidak belajar dengan rajin suatu ketika, apakah dia masih bisa dikatakan murid yang baik? Jadi berapa kali dia boleh ‘TIDAK BAIK’ dan masih dapat dikatakan bahwa dia ‘MASIH BAIK’? Satu aturan dilanggar, dia sudah melanggar semua aturan.

Ilustrasi yang lebih ekstrim:
Apakah syarat istri yang baik? Rajin mengurus rumah. Merawat suami dan anak. Teliti dalam urusan rumah tangga. Pandai berdandan. Bisa masak. Memberikan pertimbangan dan nasihat yang baik bagi suami dan anak-anaknya.
Kemudian dalam 40 tahun pernikahan, dia pernah satu kali tidur dengan pria lain. Apakah dia masih merupakan istri yang baik?

Demikian pula kita dalam hidup kita. Benarkah kita berani mengatakan bahwa jika kebaikan dan kejahatan saya selama hidup ditimbang, maka saya masih ada kelebihan baik. Benarkah kita berani mengakui bahwa kita baik dihadapan tuhan dan meminta dia untuk menyelamatkan kita?

Apakah benar-benar agama atau diri kita sendiri yakin bahwa kita bisa diselamatkan oleh perbuatan baik? Justru karena adanya tuntutan moral dan segala hukum yang berlaku, membuktikan kepada kita bahwa kita tidak bisa berbuat baik. Karena kita tidak bisa berbuat baik, maka kita semua tidak bisa diselamatkan.
Seluruh agama adalah sia-sia. Seluruh upaya manusia untuk bisa diselamatkan adalah upaya menjaring angin. Kita tidak bisa diselamatkan. Jika kita bahkan tidak bisa berbuat baik, dengan apa kita bisa diselamatkan? Jika perbuatan baik kita (jika seandainya, seumpama, misalnya, contoh omong kosong jika kita benar-benar berbuat baik tanpa cela) pun pada dasarnya disertai oleh motivasi tertentu, masihkah kita bisa disebut baik? Karena kita mengharapkan imbalan atas jasa kita. Sebuah buku filsafat Islam yang pernah saya baca memberikan ilustrasi yang menarik: perbuatan baik itu seharusnya seperti saat kita buang air besar, tidak ada motivasi, ikhlas, penuh kerelaan, tidak mengungkit jasa kita kepada siapapun di kemudian hari. Itulah perbuatan baik yang sejati.

Tidak ada yang baik. Seorang pun tidak.
Tidak ada jalan keluar lain. Kita tidak bisa diselamatkan jika kita tidak menghadap Tuhan dan membesar-besarkan jasa kita dihadapan-Nya (tapi itu akan membuat manusia semakin berdosa, bahkan menurut etika rendah manusia; Apalagi di dalam etika Tuhan.)
Namun bukunya orang Kristen memberikan kepada kita penghiburan dan jalan keluar. Karena manusia tidak bisa berbuat baik dan tidak bisa menyelesaikan dosanya sendiri dalam hidupnya di hadapan tuntutan penghakiman keadilan TUHAN, maka Tuhan mengutus Anak-NYA sebagai satu-satunya jalan keluar, supaya mereka yang percaya pada berita aneh dan supranatural itu boleh diselamatkan. Tuhan Yesus, Anak Tunggal Tuhan, mengambil bentuk manusia supaya Dia bisa mati, menggantikan manusia berdosa, menyatakan kasih Tuhan yang besar untuk manusia yang berdosa. Harus bentuk manusia, karena Dia tidak bisa mati jika Dia tetap sebagai Tuhan.
Kasih itu tidak murah, karena masih ada keadilan yang harus ditanggungkan sebagai pertanggungjawaban manusia. Manusia boleh saja meminta maaf dan manusia akan dimaafkan hanya di dalam Kristus Yesus sebagai pengganti yang sah yang diakui Tuhan, tapi konsekuensi hukuman harus jalan dan masih ada ganti rugi yang harus dibayar seturut dengan keadilan Tuhan. Sehingga itulah yang dikerjakan dalam karya keselamatan, Anak Allah yang tunggal itu menggantikan manusia dan mati di dalam kesucian dan ketidakberdosaan untuk memuaskan penghakiman Tuhan.

Jangan ditanyakan kenapa harus cara itu, Dia pencipta. Cara apapun yang Dia lakukan, selalu akan ada manusia yang mempertanyakan, “kenapa harus cara itu?” Dia berhak menggunakan cara itu. Dan itulah jalan keluar yang ditawarkan. Kita mau menerima atau menolak, Tuhan tidak rugi apapun juga.

Spiritualitas Dalam Sosiologi dan Filsafat

Secara sosiologi, filsafat, dan kebudayaan, sudah sangat lama di dalam sejarah manusia kita mengenal apa yang disebut sebagai penyembahan terhadap suatu demiurge (Bahasa Inggris; terj: entitas/keberadaan yang menjadi sumber keteraturan dan penciptaan alam semesta) yang bisa berupa kuasa atau pribadi atau banyak pribadi yang dipercaya melampaui kekuatan manusia dan alam semesta, yang mengatur seluruh jalannya dunia ini. Ada suatu kekosongan yang terasa sangat perlu dan mendesak dalam diri manusia untuk diisi dengan sebuah pengakuan bahwa manusia harus tunduk mutlak di bawah kuasa itu.

Demikianlah muncul segala ide tentang agama dan kepercayaan sepanjang sejarah hidup manusia. Melalui rasionalisme otak, dihasilkan segala pengetahuan dan filsafat untuk mendefinisikan kuasa yang agung berikut sistematika kepercayaan mereka di dalam mitos dan legenda para dewa. Melalui perasaan dan persepsi hati, dihasilkan segala pengertian dan filsafat yang mendefinisikan jalan tentang kebenaran yang megah dalam pengajaran-pengajaran tentang kehidupan.

Sejalan dengan itu, muncullah kemudian berbagai macam agama dan kepercayaan yang membentuk suatu sistem pengetahuan dan pengertian yang kemudian dijadikan penuntun dan pedoman hidup bagi manusia.  Berbagai macam, namun dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu semua kepercayaan yang sifatnya antroposentris (berpusat pada manusia) dan theosentris (berpusat pada tuhan).

Untuk membatasi keluasan dan kebesaran topik ini, antroposentris theistik dan theosentris akan menjadi perspektif utama dalam tulisan ini. Saya tidak akan membahas gnostisisme  dengan ekstensinya dan saya tidak sanggup membahas perdebatan agnostisisme.

Secara umum, segala hal dalam berbagai keunikan konsep dan prinsip masing-masing yang dipercaya oleh manusia sebagai demiurge akan disebut sebagai ‘agama’. Hanya ada dua macam kelompok besar agama dalam dunia ini sepanjang sejarah manusia sejak semula. Agama yang sifatnya antroposentris, yaitu agama yang menjadikan manusia sebagai pusat. Dan agama yang sifatnya theosentris, yaitu agama yang menjadikan tuhan sebagai pusat. Ada sangat banyak kata tuhan yang digunakan dalam kesemua agama tersebut. Ada banyak pengakuan terhadap berbagai figur yang disebut tuhan dalam bentangan sejarah. Dan selamanya selalu ada keterkaitan antara prinsip ketuhanan dan prinsip kebenaran yang tidak bisa dilepaskan dalam esensi setiap agama.

Tuhan adalah pasti benar dan kebenaran sejati pasti adalah kebenaran tuhan, menurut pengikutnya masing-masing. Jika tuhan bisa salah atau jika tidak ada kebenaran dalam dirinya, maka pasti tuhan itu bukan tuhan. Sekarang, permasalahannya adalah siapakah penentu kebenaran tuhan? Tuhan itu benar atau salah menurut siapa, menurut manusia kah atau menurut tuhan? Apakah tuhan berhak menentukan kebenarannya sendiri ataukah manusia yang lebih berhak menentukan?

Ada penyembahan tuhan yang menuntut pengorbanan manusia; baik berupa materi, jiwa, hingga nyawa. Ada pula penyembahan tuhan yang menuntut pengorbanan hewan. Mana yang lebih benar? Apakah kita akan mengatakan bahwa pengorbanan hewan itu benar. Pengorbanan manusia itu juga benar asal tidak mengambil nyawanya atau asal manusia tidak disembelih. Jadi siapakah penentu kebenaran?

Yang terjadi kemudian adalah manusia mulai menilai tuhan yang lain, agama yang lain dari yang dia percaya, karena menurut dia, tuhan yang lain itu salah kalau meminta manusia untuk disembelih. Tapi bagi orang-orang yang mengikuti ajaran agama itu, hal itu dianggap wajar. Apakah memang manusia merupakan titik mutlak penentu kebenaran dalam agama? Jika jawabannya adalah ‘ya’, maka suatu pandangan terhadap suatu agama atau kebenaran terhadap suatu agama bersifat antroposentris.

Antroposentris

Inilah yang terjadi sepanjang sejarah, manusia saling menghakimi dengan standar masing-masing dan saling bertikai karena perbedaan sudut pandang. Menganggap diri lebih benar daripada yang lain. Terlihatlah dengan sangat jelas, bahwa ternyata ada kebenaran yang benar-benar BENAR dan ada kebenaran yang tampaknya kurang BENAR. Hal itu terdapat dalam argumentasi yang berbasis pada pemikiran manusia (antroposentris). Yang benar menurut manusia yang satu belum tentu benar bagi manusia yang lain. Hal ini menimbulkan upaya untuk mencari kebenaran yang sejati dalam seluruh pemikiran manusia, mulai dari Shakyamuni, Lau Tzu, Confucius, Plato, Socrates, dan Aristotle.

Inilah yang terjadi dalam perdebatan agama antroposentris. Agama yang berpusat pada manusia. Manusia memiliki agama yang berasal dari pemikirannya sendiri tentang tuhan, menjadikan tuhan itu dari gambar dan rupa manusia atau rupa hewan atau yang lainnya, dan disembah untuk mendatangkan manfaat bagi manusia. Manfaatnya adalah untuk menjadi jaminan dalam kehidupan setelah kematian atau sekedar alasan manfaat yang praktis yaitu untuk mendatangkan kehidupan yang nyaman dan jauh daripada kecelakaan.

Upaya mencari kebenaran itupun kemudian menyatakan bahwa kebenaran itu tidak bisa berasal dari manusia karena manusia ternyata bisa bersalah dan kebenaran dalam sifat manusia tidak bersifat mutlak. Jika demikian, bagaimana mungkin dari dalam diri manusia bisa memunculkan kebenaran yang benar-benar BENAR? Jika manusia pasti bersalah, bagaimana dengan agama yang berasal dari kebenaran dan pemikiran menurut manusia yang bersalah, tidakkah berarti bahwa agama itu pula akan memiliki kesalahan-kesalahan di dalam dirinya sendiri?

Demikianlah kemudian orang mulai menyadari bahwa melalui diri manusia dan agama yang muncul dari dalam diri manusia memiliki kelemahan yang besar. Manusia hanya mampu untuk memikirkan jalan keluar di dalam perbuatan baik dan berharap bahwa perbuatan baik itu nantinya akan membawa dia kepada tuhan. Namun tidak ada kepastian di dalam pemikiran itu dan tidak jalan keluar yang mutlak melalui kebenaran tersebut.

Theosentris

Setelah tahun masehi, muncul pemikiran baru dalam dunia, yaitu bahwa kebenaran itu baru benar-benar BENAR jika dimunculkan oleh kebenaran yang tidak berasal dari manusia, melainkan langsung dari tuhan. Tuhan dianggap sebagai figur mutlak di luar diri manusia yang tidak bisa bersalah, sehingga kebenaran tuhan juga tidak bisa bersalah. Tuhan dijadikan figur utama dalam agama dan berada dalam tingkatan yang lebih tinggi daripada manusia di dalam kesempurnaannya.

Karena itu kemudian muncul pula banyak agama yang katanya dari tuhan, dalam berbagai variasi dan mengakui bahwa di dalam dirinya tidak bersalah, dibanding dengan semua agama lain yang berasal dari pemikiran dan bijaksana manusia yang bercacat di dalam dirinya sendiri. Jika suatu agama adalah berasal langsung dari tuhan yang tidak bersalah, maka agama itu pasti tidak bersalah.

Setelah tahun masehi itulah muncul istilah ‘wahyu’ yang secara spesifik dikaitkan dan dimengerti sebagai ‘tuhan sendiri yang menyatakan dirinya secara terbuka dan terus terang kepada manusia’. Wahyu adalah kebenaran tuhan yang diturunkan dari kekekalan yang statis kepada dunia sementara yang sifatnya dinamis. Dari sudut pandang dan gaya bahasa agamawi: Turunnya tuhan yang sejati yang menyatakan dirinya ke tengah-tengah dunia itulah disebut sebagai wahyu tentang kebenaran yang sejati. Tuhan yang menyatakan dirinya kepada manusia. Agama theosentris ini kemudian merasa lebih percaya diri akan kemutlakkan kebenarannya setelah mereka membandingkan dirinya dengan agama lain yang sifatnya antroposentris.

Namun dengan adanya berbagai agama yang berasal langsung dari tuhan yang menyatakan dirinya ketengah-tengah sejarah, muncul kemudian perdebatan baru, manakah diantara agama theosentris itu yang benar-benar BENAR? Karena semua yang sifatnya sejati seharusnya hanya boleh ada satu. Seharusnya hanya ada satu yang benar. Di luar yang satu yang benar itu berarti ada yang tidak benar. Jika semua manusia yakin bahwa semuanya benar, maka tidak akan pernah ada pertikaian antar umat beragama. Tidak akan ada orang atau kelompok yang merasa agamanya lebih benar daripada yang lain yang kemudian mengatasnamakan agama untuk menganiaya agama yang lain.

Penganiayaan antara manusia beragama atas nama agama justru terjadi saat manusia merasa mutlak yakin bahwa agamanya yang katanya berasal dari tuhan itu adalah kebenaran yang sejati. Sebelum muncul keyakinan itu, penganiayaan antar manusia lebih bersifat antroposentris, yaitu kebencian, iri hati, dengki, keserakahan, dan seterusnya.

Hal ini menimbulkan kerumitan yang baru. Karena sama-sama merasa bahwa kebenaran dan agama yang mereka miliki adalah dari tuhan langsung, semua merasa bahwa kebenaran yang mereka miliki adalah yang benar-benar BENAR. Sikap kritis yang mula-mula ada untuk mempertanyakan dan memikirkan tentang kebenaran, sekarang digantikan dengan berbagai perilaku fanatisme mulai dari yang sifatnya membabi buta, tertutup, tidak berpengetahuan ataupun yang berpengetahuan namun sempit dan tertutup; Hingga kepada fanatisme yang berpengertian dan terbuka yang sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai perilaku fanatik melainkan sebuah keyakinan yang berpengetahuan.

Antroposentris Dalam Theosentris

Hal lain yang muncul kemudian adalah bahwa karena kebenaran itu di wahyukan, maka kebenaran itu harus dipelajari dengan metode yang berbeda karena bukan berasal dari pengetahuan manusia. Dalam proses pembelajaran dan upaya memahami kebenaran tuhan, terjadi kesulitan yang sama dengan semua permasalahan agama yang berasal dari alam dan pemikiran manusia. Interpretasi terhadap alam yang dilakukan oleh orang yang berbeda, menimbulkan interpretasi yang berbeda. Demikian pula interpretasi terhadap kebenaran yang katanya dari tuhan, dilakukan oleh orang yang berbeda, menimbulkan pemahaman yang berbeda. Dan akhirnya, dalam satu alam, muncul berbagai agama. Seperti juga dari yang bahkan katanya satu kebenaran, muncul prinsip agama yang berbeda. Dalam satu interpretasi kebenaran, muncul kepercayaan yang berbeda dalam aplikasinya. Dan terus berulang-ulang terjadi berbagai perbedaan. Hal itu dapat terjadi semata-mata karena cara interpretasi kebenaran yang katanya diwahyukan, diperlakukan sama halnya dengan kebenaran yang berasal dari alam, yaitu di tinjau dari perspektif manusia sebagai pusat kebenaran.

Manusia tetap saja tidak memahami satu hal penting. Ada satu kegagalan dan kesalahan yang terus menerus dilakukan oleh kebanyakan manusia dalam upaya menginterpretasi entah alam, entah kebenaran, entah yang dari pemikiran manusia maupun dari wahyu: manusia menginterpretasikan segalanya secara antroposentris. Saya tidak bisa menyalahkan kegagalan interpretasi terhadap segala hal yang pada dasarnya adalah antroposentris dari sudut pandang antroposentris. Tapi saya menyesalkan adanya upaya meninjau segala hal yang bukan antroposentris (dalam hal ini bersifat theosentris) dari sudut pandang antroposentris.

Kita harus meninjau wahyu yang katanya berasal dari tuhan, tentunya dari sudut pandang tuhan. Tuhan yang mewahyukan kebenarannya, maka kebenaran itu harus kita tinjau secara theosentris. Akan menimbulkan kekacauan pengertian jika sesuatu yang theosentris pun kemudian kita turunkan dan kita analisa secara antroposentris. Jika kita meyakini bahwa wahyu itu adalah tuhan yang berbicara, maka sudah sepatutnya kita mendengarkan apa yang tuhan mau bicarakan.

Namun seringkali manusia hanya mau mendengarkan apa yang dia mau dengar, melihat apa yang mau dia lihat, dan akhirnya, dia hanya bisa mengerti tentang apa yang dia mau mengerti. Sesuatu yang theosentris pun kemudian menjadi bersifat antroposentris. Dengan munculnya orang-orang yang menginterpretasikan agama seturut dengan kepentingan dia, keinginan dia, tujuan dan rencana, baik secara religius ataupun pragmatis, baik untuk tujuan sosiologi, politik, ideologi, agama, dan seterusnya, menjadikan agama yang katanya paling theosentris bisa menjadi agama yang sifatnya tidak berbeda jauh dengan agama lain yang sifatnya antroposentris. Agama yang dari tuhan pun akan kemudian menjadi agama yang sangat bersifat humanis, mengutamakan kepentingan manusia dengan segala keinginan dan nafsunya yang tidak terpuaskan. Untuk kemudian menjadikan tuhan sebagai sarana mencapai cita-cita, memperalat tuhan untuk membenarkan diri sendiri, dan kemudian menjadikan kekekalan tuhan persis seperti keadaan dunia ini berikut dengan egoisme manusia.

Tuhan pun ditakar menurut pemikiran manusia dan ajaran tuhan dianggap tidak masuk akal manusia, kecuali kebesaran dan kuasa dia yang bisa diperalat untuk kepentingan manusia. Bahwa di dalam tuhan tidak ada yang mustahil, bahwa di bersama tuhan semua akan baik-baik saja; namun tidak ada upaya sedikitpun dari manusia untuk mencari tuhan kecuali untuk mencari berkatnya untuk memuaskan segala keinginan manusia dan menjadikan tuhan seperti pembantu atau dokter atau manager atau pesuruh dan seterusnya.
Bahwa di surga nanti kita akan mendapat tempat yang luas, istana yang besar, emas dan permata yang berlimpah, kenikmatan dan kepuasan badani, menjadi raja dengan kuasanya dan memerintah dunia di sana, dan seterusnya. Kesemuanya persis seperti halnya keadaan dunia ini dibawa ke tempat tuhan berada, katanya.

Hingga Karl Marx menteriakkan seruannya yang terkenal, “Agama dibuat oleh manusia; agama tidak membuat manusia menjadi manusia. Agama dibuat oleh negara dan masyarakat. Agama adalah desahan nafas putus asa oleh makhluk yang tertekan, oleh perasaan dari dunia yang tidak memiliki hati, oleh jiwa dari dunia yang penuh dengan kekosongan hidup. Agama adalah candu bagi masyarakat.”
Dengan perilaku manusia sepanjang jaman, ucapan itu sama sekali tidak bisa ditentang.

Perilaku kebanyakan agamawan membuktikan hal tersebut dengan teori yang muluk-muluk, idealisme yang seolah tinggi namun penuh diselubungi maksud dan agenda sosial, bahkan politik. Serta mereka mengajarkan pengajaran yang semuanya mengumbar nafsu yang begitu remeh dan hina yang bahkan tidak ditemukan dalam agama-agama yang katanya berpusat pada manusia, agama yang katanya rendah karena kebenarannya berasal dari manusia yang bisa salah. Namun agama-agama yang katanya berasal dari tuhan ternyata memiliki idealisme yang tidak agung.

Kontradiksi Dalam Theosentris

Seharusnya, kebenaran yang katanya berasal dari tuhan di interpretasikan secara theosentris dipelajari dengan setia, dengan taat, dengan teliti, dan dengan bertanggung jawab. Agama yang berasal dari tuhan tersebut adalah merupakan wahyu tuhan, tapi manusia telah menerima wahyu itu dan memperlakukan wahyu itu dengan tidak sepantasnya. Dengan pemahaman yang tidak komprehensif, menghasilkan penafsiran dan pengertian yang saling berkontradiksi dan kacau balau. Penuh perkecualian dan pertentangan, tidak bersifat universal, integral, dan moral yang tinggi. Kesemuanya bertentangan dengan prinsip filsafat tentang kebenaran yang sejati.

Hal ini mengingatkan saya pada sebuah buku Kristen yang pernah saya baca, “Manusia adalah makhluk yang cinta diri (baca: humanis) dan cinta uang (baca: materialis). Mereka menolak kebenaran Tuhan, menolak Dia yang diutus Tuhan untuk memberitakan kebenaran Tuhan. Mereka menganggap berita Tuhan sebagai kebodohan dan ketidakmasukakalan. Mereka berkata bahwa mereka mencari kebenaran dan mencari Tuhan, namun mereka hanya mencari kebijaksanaan yang masuk akal dan mencari tanda-tanda kuasa mujizat. Ketika Tuhan datang ketengah-tengah mereka, menyatakan dirinya dan menjadi satu-satunya manusia dalam sejarah dunia yang mengatakan bahwa Dia berasal dari TUHAN, manusia membunuh Dia. Tidak seorangpun mencari Tuhan. Satu pun tidak. Tidak ada yang baik, satupun tidak. Hanya Tuhan yang baik.”

Hal tersebut sangat menarik bagi saya sebagai kontradiksi kebenaran dalam diri manusia.
Hal ini pula yang seharusnya membawa orang yang katanya mencari kebenaran kepada kesimpulan bahwa upaya persaingan jumlah pengikut suatu agama adalah omong kosong dan pekerjaan yang sia-sia. Siapapun boleh pindah dari agama satu kepada agama lain. Tidak ada bedanya untuk tuhan di dalam kekekalan. Jika tuhan itu adalah TUHAN, dengan segala kuasa yang MUTLAK, bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-NYA, seperti pemikiran agama-agama yang antroposentris (terlebih lagi seharusnya oleh agama yang katanya theosentris), maka seharusnya DIA berdaulat penuh untuk memilih orang yang DIA mau menjadi milik-NYA.
Sama juga seperti orang-orang yang melakukan tindakan anarkis demi agamanya untuk menolong tuhannya, membela tuhannya, dan menjaga dan melindungi kebenaran yang katanya dari tuhan.

“The truth is like a lion; you don’t have to defend it. Let it loose; it will defend itself.” Augustine of Hippo

Terjemahan: Kebenaran yang sejati itu seperti singa; sama sekali tidak perlu dibela. Biarkan dia lepas dan bebas; dia akan membela dirinya sendiri.

Sekali lagi, orang yang tahu tentang kebenaran, dia tidak perlu diberi tahu. Orang yang tidak tahu tentang kebenaran, dia tidak bisa diberi tahu. Ini adalah paradoks tentang ‘tahu’. Karena semua itu adalah tentang wahyu yang dipercaya berasal dari tuhan. Kebenaran dibukakan ke dalam diri seseorang sebagai wahyu, menjadikan seseorang menjadi tahu bahwa dia tidak tahu. Siapa yang dapat memberi tahu dia bahwa dia tidak tahu, jikalau dia tidak tahu bahwa dia tidak tahu selain daripada wahyu tuhan memunculkan suatu perasaan ketidaktahuan. Dengan jujur, pemikiran ini bukan dari saya, melainkan pemikiran Cornelius Van Til.

Dalam pengertian tentang wahyu ini, seharusnya penganut agama yang katanya percaya bahwa katanya kebenaran itu di wahyukan, tidak perlu ribut dengan orang lain yang berbeda agama, karena mereka seharusnya percaya bahwa kalau wahyu tuhan turun atas manusia yang lain, maka mereka akan menjadi satu agama. Akan tetapi, tampaknya semua orang sedang berusaha membantu tuhan dan mau berbuat jasa untuk tuhan, seolah tuhan tidak bisa apa-apa tanpa pertolongan manusia (sekali lagi, agama theosentris diseret menjadi agama antroposentris).

Berkenaan dengan penyebaran agama, setiap agama (baik yang antroposentris maupun theosentris) harus mengakui bahwa tujuan dari agama adalah untuk menjadi kebaikan bagi seluruh umat manusia. Menjadi panduan dan pegangan manusia dalam perilaku dan perbuatan. Sebarkanlah itu kepada semua orang, supaya masyarakat menjadi lebih baik. Supaya manusia yang berpegang pada kebenaran diri sendiri disadarkan bahwa ada kebenaran yang lebih tinggi. Bahkan masyarakat Budhisme menyebarkan dharma, menjadi teladan, hidup baik dan toleran dengan semua makhluk. Memberikan pengajaran kepada semua manusia tentang jalan dan kebaikan. Tidakkah itu baik adanya. Demikian pula dengan semua yang dikerjakan Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, dan Dalai Lama. Mereka menyebarkan pengajaran yang baik dengan damai. Kenapa kemudian malah agama yang mengaku katanya sebagai kebenaran yang sejati lebih banyak membuat kekacauan daripada menjadi berkat?

Paradoks Kebodohan dan Kebijaksanaan Manusia Dalam Theosentris

Ketika perspektif antroposentris digunakan untuk memahami agama theosentris, kembali muncul upaya manusia berusaha berbuat baik supaya dirinya diterima tuhan. Kendatipun seharusnya sudah jelas bahwa perbuatan baik tidak berlaku dalam agama theosentris karena tidak ada seorangpun sanggup berbuat baik. Hal itu semata-mata karena tidak ada yang baik, hanya tuhan yang baik (katanya orang-orang yang memiliki agama yang theosentris).

Tuhan sendiri harus mengakui bahwa dia telah menurunkan kebenarannya, bahkan mengutus Anak-Nya. Yang sering menjadi keliru adalah manusia yang selalu terus kembali menggunakan dirinya sebagai pusat dari segala sesuatu dan menjadikan dirinya sebagai tolok ukur dalam perspektifnya sendiri.

Tidakkah katanya wahyu adalah inti dari agama theosentris, bahwa tuhan sendiri harus membukakan kebenarannya sebagai kebenaran yang sejati. Bahwa tuhan itu sendiri harus mengakui oleh dirinya sendiri sebagai kejujuran yang satu-satunya dan tidak ada tuhan yang lain selain daripada dia. Namun manusia terus berusaha mencari kebenaran yang sejati tanpa menghiraukan wahyu tuhan, kebenaran yang benar-benar BENAR dalam dunia ini. Juga bahkan tidak terima ketika tuhan itu sendiri kemudian telah datang dan berkata, “Akulah Tuhan. Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup.”

Itulah inti dari agama yang katanya  diwahyukan. Kebenaran yang tidak berasal dari manusia yang bisa bersalah.
Dalam pengertian wahyu Tuhan orang Kristen, Tuhan dikatakan dalam kedaulatan-Nya tahu bahwa kebenaran-Nya adalah merupakan kebodohan yang tidak masuk akal bagi manusia yang antroposentris; karena itulah Dia kemudian mewahyukan kebenaran sejati itu bagi mereka yang bersedia menjadi bodoh demi Anak-Nya yang tunggal yang menjadi utusan-Nya. Bahwa keselamatan hanya datang oleh Dia satu-satunya, yang dengan kebodohan-NYA mati di atas salib untuk menebus dosa manusia. Supaya manusia yang bersedia menjadi tolol (baca: theosentris) bisa diselamatkan bukan oleh perbuatan baik. Supaya di dalam penebusan-Nya, orang baru dimampukan untuk berbuat baik, karena sekarang ‘baik’ itu bukan lagi menurut manusia, tetapi apa yang ‘baik’ menurut wahyu Tuhan: keadilan, murah hati, rendah hati, dan mengikut Tuhan. Dan tidak ada hukum dan etika dunia yang bertentangan dengan kebaikan itu.

Paradigma Kontradiksi Kebaikan vs. Kejahatan dalam Filsafat

Sepanjang sejarah, agama dan kepercayaan, filsafat dan pemikiran, berusaha menggali alam yang nyata dan alam yang tidak nyata. Upaya tersebut menimbulkan pemikiran dualisme tentang dunia spiritual atau dunia ide dan dunia material yang dapat dikenali oleh semua indra dan dengan mudah dicerna oleh pemikiran rasional. Entah sejak kapan hal itu ada dan dikerjakan oleh manusia, tapi selalu ada pengakuan bahwa ada sesuatu yang melampaui dunia material yang kita kenal berikut dengan kekuatan dan pengaruhnya yang lebih besar daripada batasan dan kemampuan manusia.

Semuanya berlangsung hingga saat manusia mencapai kemajuan pemikiran yang memunculkan ide bahwa manusia adalah awal dari segala hal, puncak dari segala sesuatu dan akhir dari segala sesuatu; Dan pemikiran itu serta merta menganggap bahwa kepercayaan tentang keberadaan kuasa di luar manusia adalah takhyul, kuno, dan terbelakang. Manusia membuang semua ide tentang kuasa yang lebih besar dari manusia dan meletakkan figur manusia di tempat tersebut. Akan tetapi kemudian hal itu menimbulkan kekosongan yang luar biasa dalam hidup manusia karena ide itu mentelantarkan manusia kepada keterhilangan dan ketersesatannya di sepanjang hidupnya, dan mendegradasi nilai hidupnya menjadi kekosongan dan kesia-siaan. Hingga pada akhir hayatnya, kematian menjadi sesuatu yang tidak terelakkan dan hati nuraninya menganiaya dia dengan ketakutan seandainya ada kehidupan setelah kematian. Contoh yang menarik adalah Friedrich Nietzsche dengan ateisme dan ucapannya yang terkenal dengan sedemikian terus terang dan terbuka, “Tuhan sudah mati! Aku sudah membunuhnya,” yang diungkapkannya berulang-ulang, memiliki akhir kehidupan yang menarik pula.

Pemikiran demi pemikiran terus menerus bermunculan dari berbagai aliran filsafat baik dari filsafat barat yang menekankan pada rasionalitas maupun dari filsafat timur yang menekankan pada emosi dan perasaan yang menjadi jalan dan cara hidup. Sementara berbagai budaya menghasilkan konsep perseteruan tentang kebaikan dan kejahatan dalam mitos dan legenda para dewa, pertarungan tanpa akhir antara dunia spiritual dan dunia material, ketegangan antara keteraturan dan kekacauan, dan permusuhan antara pencipta, pemelihara, dan perusak. Hingga akhirnya muncul suatu pemikiran sinkretisme sebagai penengah dalam antroposentrisme bahwa tidak ada kebaikan ultimat ataupun kejahatan ultimat. Selalu ada kebaikan dalam diri orang jahat, dan selalu ada kejahatan dalam diri orang baik. Filsafat timur dengan sangat indahnya menyebut hal ini sebagai Yin dan Yang, sebagai dualisme antara kebaikan dan kejahatan, terang dan gelap.

Inilah yang akan menjadi pembicaraan kita kali ini.

Sepintas lalu, upaya ini terlihat memberikan penyelesaian yang jelas untuk menggambarkan keadaan dunia kita. Terlihat logis dan rasional, bahwa ada kejahatan dan kebaikan, ada terang dan gelap, ada api dan air, ada hal-hal yang memang bertentangan yang ada dalam dunia ini. Hal ini terlihat seperti sebuah paradoks yang merupakan kebenaran.

Tapi hal ini sebenarnya adalah merupakan kontradiksi yang tidak memberikan jawaban, melainkan lebih menimbulkan pertanyaan daripada memberikan jawaban penyelesaian. Adapun cara pandang terhadap fenomena ini kurang tepat. Pandangan bahwa ada kebaikan dan kejahatan dalam diri manusia, bahwa di dalam terang, ada sisi gelap dan di dalam gelap ada sisi terang. Pertentangan yang berusaha diselesaikan dengan secara paradoks.

Pertentangan ini bermula dari pandangan bahwa kegelapan dan kejahatan dalam hal ini dijadikan sebuah keadaan atau entity atau entitas. Kegelapan dianggap sebagai keadaan yang memiliki eksistensi yang jelas dan berdiri sendiri secara kondisi dan keadaan yang nyata. Demikian pula kejahatan. Walaupun tampaknya demikian, kegelapan bukanlah entitas sendiri.

Kegelapan adalah kondisi dari tidak adanya terang.
Kejahatan adalah kondisi dari tidak adanya kebaikan.

Manusia memiliki kecenderungan untuk memikirkan jalan tengah dan kemudian berdiri sendiri. Contoh kontradiksi yang menarik dan dipakai dalam skala luas adalah “keadaan tidak memihak”; Ketika ada dua golongan sedang berseteru, muncul orang-orang yang katanya tidak memihak, bersikap netral, ambigu, menjadikan kondisi abstain sebagai penyelesaian natural. Padahal mengambil posisi yang katanya “tidak memihak” itu malah menjadikan mereka membentuk sebuah kelompok penanding lain yang namanya “tidak memihak”. Sekarang, dari dua golongan yang berseteru tersebut, muncul kelompok ketiga yang dinamai “kelompok tanpa pihak”. Kelompok ini menjadi masalah karena akhirnya menjadi kelompok oposisi dari dua kelompok yang mula-mula yang berseteru. Sehingga sekarang ada tiga kelompok yang sedang berseteru.
Seringkali, kita harus memihak. Kita tidak bisa melepas tanggung jawab dan menyelesaikannya dengan jalan keluar yang pragmatis yang seolah-olah merupakan jalan keluar.

Melalui paradigma dan perspektif tersebut, kita bersama-sama telah melihat bahwa ternyata tidak ada kondisi gelap yang bercampur terang ataupun kejahatan yang bercampur kebaikan. Seolah-olah hal itu digambarkan seperti bagaimana seseorang yang berselingkuh tidak mungkin mencintai dua orang secara sama rata, dia akan selalu mencintai yang satu lebih daripada yang lainnya. Seperti fenomena tarik-menarik dalam diri seseorang yang berusaha hidup baik, namun membuat perkecualian dari waktu ke waktu dengan mengambil keputusan-keputusan yang kejam.

Tidak pernah mungkin akan terjadi saat ketika kegelapan datang dan mengusir keberadaan terang. Yang akan selalu ada adalah terang datang dan mengusir kegelapan, karena kegelapan itu bukanlah eksistensi, melainkan non-eksistensi dari terang. Kegelapan itu ada karena terang tidak ada.
Demikian pula kejahatan dan kelaliman. Kondisi itu ada karena tidak ada kebenaran dan keadilan. Ketika ada keadilan, maka kejahatan dan kelaliman tidak bisa terjadi. Ketika kebaikan dalam eksistensinya menjadi non-eksisten, muncul kejahatan.

Sama seperti terang dan gelap, terang merupakan energi, dan energi harus memiiliki sumbernya. Harus ada upaya dan usaha yang dilakukan untuk membuat terang. Dan hal tersebut tidak mudah. Akan jauh lebih mudah membuat kegelapan.

Demikian pula dengan kebaikan dan kejahatan, dibutuhkan upaya keras untuk melakukan kebaikan, dan kebaikan itu harus memiliki sumbernya sendiri. Dan hal itu tidak mudah. Akan lebih mudah untuk tidak mau mengakui sumber kebaikan itu dan membiarkan kejahatan dan kelaliman ada.

Demikian pula dengan manusia, manusia itu pada dasarnya jahat (berlawanan dengan pendapat dan pandangan dari psikologi dan sosiologi yang berkata bahwa manusia itu pada dasarnya baik). Jika manusia pada dasarnya baik, maka manusia tidak akan perlu dididik dan diajar untuk berbuat hal yang baik, yang benar, yang bermoral, yang bernilai tinggi, dan yang suci, namun pada kenyataannya, manusia membutuhkan didikan yang susah dan keras dan berat untuk menjadikannya manusia yang baik. Manusia tidak perlu dididik dan dia akan selalu jahat dan tidak bermoral dan egois serta serakah.

Jikalau demikian, darimanakah sumber kebaikan itu sendiri supaya manusia dimampukan untuk berbuat baik dan mengusir kejahatan dan kelaliman dari dalam dirinya?
Buku orang Kristen memberikan jawabannya: bahwa kebaikan itu berasal dari Tuhan yang sejati. Dia adalah kebaikan itu sendiri dalam eksistensinya. Dia tidak menghasilkan kebaikan, karena diri Dia ADALAH kebaikan, Dia adalah terang itu sendiri di dalam diri-Nya. Jika ciptaan-Nya tidak kembali kepada Dia, tidak ada seorangpun bisa berbuat baik, seorang pun tidak.

Tidakkah kita lihat sendiri, ketika seseorang membuang Tuhan yang sejati, tidak akan pada dia perbuatan baik itu. Dan tidakkah kita lihat sendiri, orang yang paling berani berbuat jahat adalah orang yang mengaku sebagai orang yang paling beragama. Kondisi itu menimbulkan kekecewaan dalam diri manusia, karena bagi mereka, mereka mengira bahwa agama seharusnya mendatangkan kebaikan. Yang gagal dilihat oleh manusia, walaupun sudah ada dalam sejarah (seperti kata Friedrich Hegel, “Kita belajar dari sejarah bahwa kita tidak belajar apapun dari sejarah.”), bahwa ada begitu banyak pemikiran tentang tuhan dan manusia mengambil kesimpulan bahwa semua tuhan adalah salah. Padahal sudah ada satu Tuhan yang menyatakan dirinya ke dalam sejarah, tapi kemudian itupun ditolak oleh manusia. Jadi dengan apalagi manusia bisa diyakinkan, sehingga kemudian mereka mengusir semua tuhan pergi keluar dari hidupnya dan menerima entah apa secara pragmatis dan mengambil jalan mudah yang sebenarnya tidak bisa dikatakan mudah pula.
Pengusiran keberadaan Tuhan dari hidup manusia mengembalikan manusia pada pola pikir ateistik yang sudah kita bahas di atas.

Sehingga dalam upaya manusia menggali dan mengupayakan kebaikan dalam hidupnya, mau tidak mau, dia harus mengakui keberadaan Tuhan yang benar, sebagai kebenaran yang benar-benar BENAR. Kegagalan manusia untuk mengakui Tuhan yang benar dalam hidupnya akan membawa balik manusia kepada pencarian tanpa akhir, perseteruan kebaikan dan kejahatan serta sinkretisme “yin dan yang” tadi.

Paradoks Idealisme dan Pragmatisme Dalam Moralitas

Jurang pemisah yang terjadi antara apa yang ‘seharusnya’ dengan apa yang menjadi ‘kenyataannya’ telah lama menjadi topik dalam pemikiran para filsuf besar sejak jaman Yunani kuno hingga jaman modern. Tema besar mengenai ide dan kenyataan mencakup hal yang sedemikian luas dan berupaya membahas dalam dialog-dialog tentang apa yang didefinisikan sebagai yang ‘nyata’ dan apa yang didefinisikan sebagai ‘konsep’, hal-hal yang merupakan ‘kekacauan’ dan ‘keteraturan’ dalam skala kosmik. Pada jaman modern, David Hume adalah filsuf abad ke-18 dengan Filsafat Moral yang membahas secara khusus etika moralitas yang berkenaan dengan apa yang kenyataan dan apa yang seharusnya (Is-Ought Problem).

Dalam skala kecil, implikasi pemikiran yang sangat besar itu sangat berdampak dalam totalitasnya dengan cara kita menjalani hidup dalam keseharian. Kita menyadari bagaimana setiap manusia memiliki pikiran dan bayangan tentang bagaimana dunia yang seharusnya, dunia ide, yang dianggap sebagai dunia yang ideal. Juga tentang dunia yang lebih disadari dan sedang dihidupi, yang dijalani dalam keseharian, realita dan kenyataan yang ternyata tidak seperti yang diharapkan. Jelas keberadaan celah pemisah itu menimbulkan ketegangan-ketegangan tersendiri dalam diri manusia yang hidup. Beberapa orang memiliki celah yang lebih besar dibandingkan orang yang lain, namun tidak ada seorang pun yang memiliki hidup yang berjalan sama persis dengan yang dia bayangkan; dibuktikan dengan tidak ada seorangpun yang puas dengan kehidupan yang dijalaninya.

Professor Pitirim Sorokin, seorang sosiolog dari Harvard University mengatakan bahwa sepanjang sejarah umat manusia, manusia mendambakan masyarakat atau negara yang memilki keadilan dan kesejahteraan sebagai idealisme tertinggi. Namun hal itu tidak pernah tercapai.

Setiap manusia memiliki cita-cita, bayangan, ide, tentang apa yang dia harapkan dalam hidupnya. Itu adalah apa yang menjadi idealisme.

Setiap manusia menjalani kehidupan keseharian, yang seringkali dalam derajat yang tidak sama antara seorang dengan yang lain, berbeda dengan apa yang dia inginkan, rencanakan, atau harapkan. Itu adalah apa yang disebut sebagai dunia pragmatis. Kata pragmatis di sini berbeda dengan kata pragmatis dalam filsafat pragmatisme. Kata pragmatis disini adalah suatu sikap dalam menghadapi sesuatu secara realistis dan dengan menggunakan akal sehat yang lebih mengedepankan aspek praktis daripada aspek teoretis.

Sebagai gambaran, saya bangun di pagi hari ini dan melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 7:20; saya membuka agenda jadwal kegiatan. Jam 9 pagi, mengurus laporan transaksi di bank. Jam 10, ada pertemuan dengan klien. Jam 12 siang, makan siang bersama rekan kerja di kantor. Jam 13, memeriksa laporan bulanan untuk mempersiapkan meeting jam 14. Terlihat cukup teratur dan sangat masuk akal. Tidak ada jadwal yang berkejar-kejaran. Semua baik-baik saja ketika saya melihat jadwal itu.
Hingga saya menyadari bahwa jam dinding di kamar tidur saya mati sejak jam 7:20 semalam. Saya memeriksa jam tangan saya disebelah tempat tidur dan waktu sekarang menunjukkan pukul 8:32.
Saya sudah terlambat. Dan saya harus merubah seluruh idealisme dalam kepala saya mengenai apa yang akan saya kerjakan hari ini dan secara pragmatis menyusun prioritas kegiatan yang harus saya buang jika saya ingin hari ini berlangsung baik. Saya kemudian membatalkan makan siang untuk mengurus laporan transaksi, karena saya sudah terlambat untuk pergi ke bank. Saya tidak bisa membatalkan janji dengan klien dan jelas saya masih harus memeriksa laporan bulanan jika saya mau mengadakan meeting jam 14.

Itu adalah yang fungsional menurut saya. Tetapi mungkin menurut orang lain, dia akan menggeser jadwal ke bank ke keesokan harinya karena satu dan lain alasan. Atau mungkin bagi orang yang lain lagi, dia akan memaksakan diri untuk tetap pada idealismenya kemudian mengerjakan semua yang tertulis di agendanya hari itu dengan perasaan tertekan, menggerutu mengenai situasinya, menyalahkan jam dinding yang mati, berlarian kesana kemari sambil menerobos antrian bank, mengebut di jalan raya, dan seterusnya, supaya hari itu berjalan seturut dengan yang dia mau.

Itulah kehidupan praktis kita sehari-hari.

“Idealis” akan membuat manusia sangat tertekan, mendorong dan memaksa agar apa yang dia mau dapat tercapai, tidak perduli apa yang harus dia lakukan, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Idealisme akan membentuk ambisi dan dorongan yang menjadi motivasi yang kuat.
Namun ditengah-tengah kehidupan ini, begitu banyak hal dan hambatan bisa terjadi karena satu dan lain hal seperti yang digambarkan oleh Murphy’s Law (Murphy’s Law secara sederhana menyatakan bahwa “Anything that can go wrong, will go wrong.” – Terj: apapun yang memiliki potensi untuk bisa menjadi salah/tidak beres, akan berjalan secara salah dan tidak beres.) Orang yang ambisius mengejar idealisme mereka kemudian menyusahkan diri mereka dengan berbagai-bagai kesulitan yang tidak perlu, mengejar hal-hal yang mungkin tidak bernilai terlalu tinggi, namun menjadi sesuatu yang sangat mereka inginkan hingga mereka mau mengorbankan apapun juga, mulai dengan diri mereka sendiri, orang-orang sekitar, teman, hingga keluarga dan orang-orang terdekat termasuk anak dan isteri.

“Pragmatis”, sebaliknya, akan membuat manusia hidup dengan lebih ringan, lebih santai, mau menerima kenyataan hidup bahwa hidup tidak akan menjadi seperti yang kita mau. Orang-orang yang pragmatis tidak mau repot dengan idealisme dan teori-teori dan konsep-konsep yang rumit dan susah. Mereka mengambil jalan pilihan untuk tidak perduli, membiarkan hidup mereka berjalan “mengikuti arus” dan mengarah pada kehidupan yang menganut paham pragmatisme. Mereka pasrah dalam hidup, bersikap cuek, karena hidup sudah cukup susah dijalani dengan kecuekan, apalagi jika masih harus ditambahi dengan pemikiran-pemikiran dan ide-ide dalam kepala mereka yang menuntut mereka kepada suatu bentuk kehidupan lain yang hanya bagus di dalam angan-angan.

Manakah yang lebih baik diantara keduanya? Idealis atau pragmatis?

“Every form of addiction is bad, no matter whether the narcotic be alcohol or morphine or idealism.” – Carl Jung

Terjemahan: Setiap bentuk kecanduan itu buruk, entah apakah candu itu adalah alkohol atau obat bius atau idealisme.

Yang lebih baik adalah memiliki hidup yang idealis DAN SEKALIGUS pragmatis. Yang benar diantara keduanya ada dalam bentuk paradoks, yaitu KEDUANYA BENAR. Idealisme tanpa pragmatisme akan menjadi hidup yang penuh dengan kesulitan karena kita memaksakan dunia yang ideal ke dalam dunia yang penuh dengan kerusakan ini. Pragmatisme tanpa idealisme akan menjadi hidup yang rusak, karena ketiadaan idealisme mendegradasi kehidupan kepada hal yang sepele dan tidak mengandung nilai yang agung maupun nilai yang tinggi.

Sebagai gambaran, moralitas dan ajaran kebaikan mengajak kita untuk hidup dengan memiliki cinta kasih, kebahagiaan, kedamaian, kesabaran, murah hati, baik, setia, lembut, dan pengendalian diri. Dan tidak ada hukum manapun yang menentang hal-hal tersebut. Namun dunia ini penuh dengan orang yang memiliki kedengkian, iri hati, kebencian, kepahitan, kekecewaan, keserakahan, garang, kasar, dan mengumbar emosi dan keinginan.

Bisakah kita secara ideal melakukan hal-hal yang baik ditengah tantangan kehidupan disekitar kita? Jika tidak bisa, apakah kita akan melompat menjadi pragmatis dan hidup dengan cara seperti semua orang lain yang berada di sekitar kita? Jawabannya, saya percaya, adalah kita tidak sanggup hidup secara idealis. Namun kita juga tidak mau hidup sembarangan.

Akan tetapi, ‘tidak mau hidup sembarangan’ pun telah membuat orang lelah karena upaya mereka hilang ditengah-tengah pengorbanan diri mereka, menjadikan mereka menjadi pragmatis juga pada akhirnya. Mereka yang berusaha dengan susah payah hidup baik, menelan kekecewaan demi kekecewaan. Mereka hidup jujur tapi ditipu, mereka hidup baik tapi hidup mereka menjadi sulit dan dibuat sulit oleh mereka yang jahat, dan menjadi seperti orang yang terkutuk, mereka menjaga pekerjaan tangannya dengan moralitas dan kejujuran dan kebaikan dan murah hati, dan usaha mereka seperti tidak berbuah, dan pekerjaan mereka seakan tidak menghasilkan simpanan untuk persediaan dimasa sukar.

Sementara mereka yang hidup sembarangan, hidup liar dan menjadi gemuk dan wajah mereka berseri-seri dengan banyak harta bendanya dan keluarganya berkelimpahan.
Jadi untuk apa hidup menjaga moral?

Jawabannya adalah untuk menjadi teladan, menjadi berkat bagi semua orang lain yang mengalami kesulitan yang sama. Menjadi teladan yang baik dan membuktikan bahwa masih ada kebaikan di dunia ini, dalam anugerah umum ditengah-tengah masyarakat yang jahat. Saya sangat suka kepada teladan Mother Teresa; itulah orang yang agung yang dikenal di seluruh dunia, bukan orang yang kaya, tapi orang yang baik. Dunia kita yang jahat pun mengerti bahwa tidak ada keagungan dalam kekayaan.

Kita menjaga idealisme kita, berupaya mencapai standard yang begitu tinggi, seperti sebuah cita-cita yang digantungkan setinggi langit, dan kita bekerja bersusah payah meraih idealisme kita. Pragmatisme tidak akan mengantarkan manusia ke bulan, dan tanpa idealisme, tidak akan ada upaya perjalanan ke bulan. Keduanya harus berjalan bersama dalam paradoksitas ide dan upaya yang benar. Beradaptasi melalui pragmatisme untuk mencapai idealisme, mencapai kondisi ideal terbaik di antara kondisi yang sudah jauh dari ideal. Mencari keadaan terbaik diantara semua yang jelek. Seperti contoh di atas mengenai hari saya yang diawali dengan jam dinding yang rusak, saya secara pragmatis berusaha untuk menghasilkan yang terbaik dari kondisi yang sudah tidak baik. Itulah paradoks idealisme dan pragmatisme dalam kehidupan.

Mother Teresa Quotes

Terjemahan:

Orang seringkali tidak beralasan, tidak berpikir logis, dan egois.
Maafkanlah mereka.

Kalau engkau berbuat baik, orang mungkin menuduh engkau memiliki motif yang buruk dan mengutamakan kepentingan sendiri.
Namun tetaplah berbuat baik.

Kalau engkau berhasil, engkau akan menemukan teman palsu dan musuh yang sejati.
Namun tetaplah mencapai keberhasilan.

Kalau engkau jujur dan terbuka, orang akan menipu dan mencurangi engkau.
Namun tetaplah jujur dan terbuka.

Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun, mungkin dihancurkan orang dalam semalam.
Namun tetaplah membangun.

Jika engkau menemukan kedamaian dan kebahagiaan, beberapa orang mungkin akan menaruh dengki.
Namun tetaplah bersuka cita.

Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, seringkali dilupakan orang keesokan harinya.
Namun tetaplah berbuat baik.

Berikanlah yang terbaik yang kamu miliki, dan itu mungkin tetap tidak akan pernah cukup.
Namun tetaplah memberi yang terbaik yang kamu miliki.

Karena pada analisa terakhir, itu semua adalah tentang kamu dengan Tuhan-mu.
Semua itu tidak pernah tentang kamu dengan mereka.

Implikasi “Tak terhingga” Dalam Matematika dan Filsafat

Sejak masa sekolah, kita mengenal tanda “tak terhingga” (simbol:  ; infinity atau lemniscate) melalui bangku sekolah. Kita menemukan tanda itu pada kedua ujung positif dan negatif dalam garis bilangan, kita menemukan tanda tersebut pada prinsip operasional dasar, juga pada operasional intergral dan diferensial. Kita mengenal simbol tersebut sebagai suatu “angka” dalam garis bilangan, yang padanya terjadi perlakuan khusus.

Simbol tak terhingga itu merupakan suatu “angka” yang dapat dioperasionalkan dalam penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian, namun hasilnya tidak berubah selain daripada dirinya sendiri. “Angka” itu merupakan angka yang bukan angka, tetapi dianggap sebagai perwakilan sebuah angka namun tidak memiliki prinsip sebagai angka (baca: nilai). Secara prinsip, simbol tak-terhingga ini menjadi satu bentuk paradoks ditengah-tengah angka yang terhingga.

Sebenarnya, apakah simbol “tak terhingga” itu? Mengapa dia bisa muncul ditengah-tengah dunia kita yang tidak satupun bersifat “tak terhingga”? Jika mau dirunutkan, beberapa filsuf Yunani seperti Pythagoras, Plato, dan Aristotle mengakui keberadaan dunia yang terbatas dan dapat diukur dengan bilangan yang natural. Namun Aristotle mengenali bahwa ada banyak hal yang seakan-akan bergerak menuju kepada ke-takterhingga-an, seperti waktu yang seolah tidak berujung. Karena itulah Aristotle memiliki sebuah pemikiran tentang sesuatu yang sifatnya “mungkin tak terbatas” (potentially infinite). Seperti pada garis bilangan misalnya, Aristotle melindungi a priori tentang dunia yang terbatas dengan menjelaskan bahwa garis bilangan itu terbatas, namun sifat garis bilangan itu sendiri memiliki “potensi untuk menjadi tak terbatas” karena tidak akan pernah ditemukan angka terakhir yang jelas dan pasti yang menutup garis bilangan.

Plotinus merupakan pemikir setelah Plato, yang saya ketahui menjadi pemikir pertama yang menyebutkan ada “THE ONE” (baca: yang SATU) yang TUHAN yang tidak terhingga (infinite). Dia menyatakan bahwa SATU ini tidak pernah mengenal pengukuran ataupun pembatasan, SATU ini berada dalam ketidakterbatasan dalam apapun secara eksternal maupun internal, baik di dalam dirinya maupun di luar dirinya.

Agustinus (St. Augustine) kemudian menyatakan hal ini lagi dengan pengertian Plotinus ini secara lebih mendalam dan menyatakan bahwa TUHAN bukan hanya tidak terbatas, melainkan ketidakterbatasan adalah merupakan diri TUHAN itu sendiri, ketidakterbatasan bukan merupakan kondisi atau situasi yang menyebabkan TUHAN ini tidak terbatas, tetapi ketidakterbatasan ini muncul dari dalam dirinya TUHAN yang tidak terbatas yang memiliki kesanggupan untuk memikirkan hal-hal yang tidak terbatas.

Dalam upaya memahami kondisi tak terhingga, manusia berulang-ulang sejak abad pertengahan mencoba merumuskan dan memahami batasan dalam dunia yang katanya terbatas ini. Namun beberapa upaya yang satu lebih banyak menghasilkan kontradiksi dibandingkan dengan beberapa tawaran penyelesaian yang lain.

Sehingga muncul beberapa teori lain yang kemudian berbalik dari upaya memahami “mungkin tak terbatas” (potentially infinite) dan mencari “pasti tak terbatas” (actually infinite) dalam dunia yang katanya terbatas ini. Yang paling saya sukai adalah teori fractal milik Mandelbrot, selain dari Koch snowflakes.

Filsafat yang satu berbicara tentang mencari batasan, yang lain berbicara tentang mencari ketidakterbatasan, dan keduanya tidak menemukan keterbatasan maupun batasan dari dunia ini. Teori matematika yang dikemukakan mulai dari Galileo, Georg Cantor, Helge von Koch, dan Benoit Mandelbrot. Perhitungan mulai dari kalkulus, hyperspace, hingga pembagian tak terbatas dari DNA kepada ‘quark’. Tidak ditemukan penjelasan tentang ketidakterbatasan. Upaya mencari hal yang tak-terhingga berujung pada “mendekati tak terhingga”, dan mencari hal yang ‘nol’ berujung pada “mendekati nol”; keduanya menjadi upaya yang tidak jelas dalam dunia yang katanya terbatas ini.

Namun simbol tak-terhingga tidak bisa dibuang ataupun diabaikan.

PARADOKS: Dimanakah batasan dunia yang katanya terbatas ini? Ataukah dunia ini sebenarnya adalah tidak berbatas?

PARADOKS: Dimanakah batasan dunia yang katanya terbatas ini? Ataukah dunia ini sebenarnya adalah tidak berbatas?

Sampai disini, saya tidak bisa melakukan hal lain selain daripada membawa kebuntuan yang tanpa akhir ini kedalam paradoks berikut penjelasan dari perspektif yang berbeda.

Ketidakterhinggaan adalah sebuah kondisi yang statis, tidak berubah, tidak memiliki awal dan tidak memiliki akhir. Dia adalah sesuatu yang sifatnya kekal. Sementara dunia kita dengan segala isinya adalah sebuah kondisi yang dinamis, selalu berubah, memiliki awal dan memiliki akhir. Dengan kata lain, tidak ada yang tinggal tetap dalam dunia kita karena satu-satunya yang tetap adalah perubahannya. Ini adalah wilayah kesementaraan. Yang kekal tidak bisa dimasukkan dalam kesementaraan. Yang sementara, tidak bisa memasuki kekekalan. Usaha terbaik dari upaya mendekati kekekalan adalah mencapai kondisi yang dinamakan “mendekati kekekalan” secara dinamis dan terus berubah dan terus menerus. Disinilah muncul dunia ide dan dunia pragmatis. Dari sinilah muncul filsafat “is-ought problem” (perbedaan antara yang kenyataan dengan yang di harapkan) yang dicetuskan oleh David Hume.

Hasil terbaik dari usaha yang terus menerus untuk mendekati kekekalan itu hanyalah pengertian mengenai kesia-siaan karena tidak mungkin kita dari dunia yang dinamis ini memasuki alam yang statis. Tidak mungkin kita dari alam yang sementara ini memasuki alam yang kekal. Dan upaya melakukannya berakhir dengan kesia-siaan.

Secara filosofi, manusia tidak mungkin mencapai tempat dimana TUHAN berada.

Tidak dimungkinkan dengan cara apapun. Dunia ilmu pengetahuan sudah mencoba membuktikannya, dan dunia pemikiran dan ilmu pengetahuan hanya menghasilkan filsafat-filsafat yang terus menanyakan hal yang semakin banyak dan tidak pernah terjawab kecuali didalam religi. Dan diantara semua religi itu pun tidak semua bisa menjawab paradoks bagaimana kita yang sementara bisa mencapai tempat TUHAN yang kekal.

Setelah ilmu pengetahuan dan filsafat gagal menemukan cara untuk menuju kepada kekekalan, agama menawarkan solusinya: dengan perbuatan baik. Namun cara ini sudah dipikirkan oleh Aristotle, dikatakan bahwa sebuah perbuatan baik itu baru benar-benar baik jika ada maksud yang baik, dilakukan dengan baik, untuk tujuan yang baik, demi kebaikan, dan hasilnya adalah untuk kebaikan itu sendiri. Dan Socrates juga mengatakan bahwa kebaikan yang sejati itu haruslah berlaku secara universal.

Sekarang, bagaimanakah kita manusia dimungkinkan untuk mencapai kekekalan dengan perbuatan baik?

Definisi perbuatan baik pun sudah tidak bersifat universal dan integral. Dan seandainya, jikalau seumpama, misalnya kita berhasil menemukan definisi tentang perbuatan baik yang sifatnya universal dan integral, itupun tidak baik karena perbuatan baik kita pun tercemar oleh motivasi lain dibalik perbuatan baik kita. Jika kita gagal dititik definisi, bagaimana kita bisa melakukannya tanpa bersalah?

Coba saya jelaskan. Kebaikan itu harus bersifat universal, berarti dilakukan dimanapun, dia harus bersifat baik dan benar adanya. Juga bersifat integral, bahwa perbuatan baik itu di dalam dirinya adalah mengandung semua unsur kebaikan yang tidak tercemar, baik secara maksud, perlakuan, tujuan dan motivasi adalah murni demi kebaikan itu sendiri.

Contoh: Saya memiliki dua permen, dan saya memberikan kepada seorang teman saya salah satu permen. Apakah perbuatan ini baik? Kita lihat apakah perbuatan ini baik? Jika teman saya itu sedang sakit gigi, maka perbuatan saya adalah kurang bertanggung jawab. Jika ada beberapa teman saya disana menginginkan permen, saya menjadi “kurang baik” bagi yang lain karena saya tidak memberikan kepada mereka permen, padahal ada yang sangat menginginkan permen dari saya. Jadi saya hanya baik bagi teman yang saya beri permen, namun kurang baik bagi orang lain yang tidak kebagian permen.
Lebih lanjut lagi, apa maksud saya menjatuhkan pilihan saya untuk membagikan permen saya yang terbatas ini kepada dia, dan bukannya untuk orang lain? Mungkin saya mau supaya dia menganggap saya baik, atau mungkin karena saya menganggap bahwa dia adalah teman dekat saya yang terbaik dan saya mencoba menjaga hubungan baik itu. Sehingga perilaku saya memiliki motif dan tujuan tertentu.

Sama halnya dengan saya berusaha berbuat baik pada atasan saya, dengan maksud supaya saya boleh mendapat kemudahan kenaikan jabatan. Saya yakin tidak sepatutnya kita merayu yang SATU itu yang berada dalam kekekalan untuk meminta Dia membawa kita kepada kekekalan dengan perbuatan baik kita yang tidak seberapa. Bagaimana saya bisa berbuat baik jika perbuatan baik itu sendiri tidak boleh memiliki motif? Jadi apakah benar dengan kata-kata para agamawan yang menyarankan saya untuk berbuat baik, supaya amal saya memampukan saya masuk dalam kekekalan untuk bersama dengan yang SATU itu? Hal itu menimbulkan kontradiksi kebenaran yang sifatnya menghancurkan diri sendiri, bukannya menghasilkan paradoks.

Setiap perilaku perbuatan baik yang saya munculkan, selalu menjepit saya dan membuat perbuatan saya hingga pada level tertentu, menjadi kurang baik. Hal ini menimbulkan suatu frustasi dalam diri manusia yang berusaha mencapai kekekalan (baca: TUHAN).

Inipun sudah dipikirkan oleh filsuf sejak jaman eudaimonisme Yunani kuno. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa kebaikan itu adalah kebahagiaan kita, dan jika mungkin, menjadi kebahagiaan kita bersama dengan banyak orang. Mulai dari Sokrates, Plato, Aristotle, hingga kemudian pada Epikuros, definisi kebahagiaan menjadi apa yang disebut kenikmatan. Itulah kebaikan sejati.

Kebaikan yang disejajarkan dengan kebahagiaan yang kemudian disejajarkan pula dengan kenikmatan menimbulkan suatu pertanyaan yang tidak terungkap dalam diri manusia. Benarkah sifat mengumbar egoisme dan hedonisme diri itu merupakan kebaikan ultimat? Kaum stoic kemudian mencetuskan sesuatu yang berbeda dan berlawanan. Seperti beberapa agama yang menuntut bahwa perbuatan baik adalah menjauhi semua hal yang sifatnya sementara ini, mendekatkan diri kepada gaya hidup yang meninggalkan keinginan duniawi.

Disini saya tidak membahas jalan hidup orang yang tidak mengakui keberadaan kekekalan. Manusia yang pernah mati, belum pernah hidup kembali dan menceritakan apakah ada kehidupan setelah kematian. Yang masih hidup, belum tahu apakah ada kehidupan setelah kematian. Tapi kita semua pada akhirnya akan mengetahuinya. Dan semoga kita semua telah memilih jalan yang benar untuk menuju kepada kekekalan.

Kesemua upaya itu adalah upaya manusia dengan segala pemikiran dan agamanya yang ditawarkan ketengah dunia ini untuk mencapai kekekalan. Dan sekarang sudah dijelaskan bahwa tidak ada jalan keluar bagi manusia untuk menuju pada kekekalan. Tidak ada satu orang pun yang baik, satupun tidak. Hanya TUHAN yang baik di dalam ketidakterbatasannya, seperti yang dikatakan Plotinus dan Agustinus.

Didalam kesia-siaan upaya, kebuntuan pemikiran dalam pencarian jalan keluar, dengan apakah kita bisa mencapai kekekalan? Keputusasaan manusia memunculkan penghiburan semu dengan sikap pragmatis-nya, mengatakan bahwa semua agama itu sama, pada akhirnya nanti kita akan mencapai kekekalan dengan sendirinya; bahwa semua ini tidak perlu dipusingkan karena jika kita mengikuti siapapun yang katanya baik, kita boleh teruslah berbuat baik, nanti akan ditimbang pada akhirnya, mana yang lebih banyak, perbuatan baik atau perbuatan jahat. Dan manusia terus yakin bahwa perbuatan baiknya akan membawa dia kepada kekekalan, meskipun sudah disanggah sejak jaman Yunani kuno oleh semua pemikir besar bahwa kekekalan tidak mungkin dicapai dengan perbuatan baik, ataupun melalui perhitungan, logika, idea, dan seterusnya.

Di dalam keputusasaan ini, sekali lagi, dalam kelelahan yang sangat, saya tidak bisa tidak, mau tidak mau harus kembali pada apa yang ditulis dan dijelaskan dalam bukunya orang Kristen. Bahwa manusia tidak akan pernah mencapai kekekalan, jika kekekalan itu tidak lebih dahulu menembus dan masuk kedalam kesementaraan. Tidak ada orang yang dapat mencapai Tuhan jika Tuhan tidak terlebih dahulu membukakan jalan bagi manusia. Tidak ada jalan lain, hanya satu jalan, dan jelas bukan melalui perbuatan, melainkan melalui inisiatif Tuhan sendiri karena bagi Tuhan, tidak ada hal yang tidak mungkin dalam ketidakterbatasan pikiran Dia (pengakuan Plotinus dan Agustinus). Tuhan-nya orang Kristen mengakui sendiri dan memberitahukan (sebagai inisiator) yang berhak dia lakukan seturut dalam hukum relasi pencipta dan cipataan; bahwa tidak ada jalan lain untuk menuju kepada Dia jika tidak melalui Anak-nya yang kekal itu sebagai satu-satunya jalan “yang SATU”, supaya didalam Anak-Nya yang SATU itu, manusia bisa melakukan perbuatan yang benar-benar baik, yang tidak memiliki motif. Dialah yang SATU dan tidak terbatas yang selama ini kita cari dalam simbol tak terhingga. Dia yang tak-terhingga. Anaknya yang tak-terhingga. Kesemuanya yang TUNGGAL, yang SATU, yang ESA, bukan DUA – tetapi SATU, yang satu-satunya, karena simbol tak-terhingga bisa dioperasikan (dalam hal ini: dijumlahkan) tanpa merubah hasil selain daripada dirinya sendiri.

Tentu saja ini adalah hasil pemikiran saya. Tidak harus berlaku untuk orang lain.

Tentu saja kita semua yakin mengenai jalan yang kita masing-masing ambil. Jika tidak, tidak ada alasan untuk terus menjalani apa yang kita jalani selama ini. Tapi saya tahu persis apa yang saya lakukan adalah berdasar dan bukan merupakan fanatisme kosong.

Hukum Relasi Pencipta dan Ciptaan

Secara eksistensialis, dunia dan segala isinya adalah produk dari ciptaan suatu entitas yang kita kenal sebagai dengan berbagai sebutan; tapi saya akan menyebutkan namanya disini adalah TUHAN.

Secara sederhana, posisi eksistensialis saya berasal dari pemahaman yang dapat di jelaskan dengan singkat, yaitu bahwa:
Tidak ada sesuatupun yang berasal dan keluar dari ‘kebetulan’ bisa menjadi sesuatu yang bernilai tinggi dan teratur sistematik.

Tidak ada hal yang agung yang muncul sebagai akibat dari kebetulan. Tidak ada hal yang teratur yang muncul dari kebetulan. Perhatikan ke sekeliling kita, semua yang kita lihat dan kita pelajari mengikuti pola keteraturan yang memiliki ‘value system’ (terj: sistem nilai) tertentu dalam esensinya.

Mulai dari benda yang kita pakai, misalnya telepon, televisi, komputer, mobil, gedung, dan lain-lain. Sistem nilai yang ada di sekitar kita, misalnya hukum dan peraturan, tata kota, sistem pengairan, ekonomi mikro dan ekonomi makro, dan lain-lain. Semua hal lain yang berada dalam alam semesta misalnya gerak rotasi bumi dan revolusi planet, keteraturan hukum alam yang dapat diprediksi, keseimbangan ekosistem kecil dan keteraturan yang membentuk ekosistem dunia.

Kesemuanya teratur rapi. Kesemuanya berada dalam posisinya dan memiliki makna. Berdasar pada presuposisi bahwa “tidak ada sesuatu pun yang berasal dari kebetulan yang bisa memiliki nilai yang tinggi ataupun makna yang terlalu dalam”, maka saya simpulkan bahwa dunia ini adalah diciptakan.

Dunia ini dan segala isinya mengikuti Hukum Relasi Pencipta-Ciptaan.

Pakaian yang kita pakai, dibuat dengan melalui perencanaan sebelum pakaian itu dibuat. Siapa yang akan memakai (pria atau wanita), dipakai seperti apa (atasan atau bawahan atau di kaki atau tangan), dipakai oleh orang yang seperti apa (petualang pendaki gunung atau orang yang hidup di pantai), dan seterusnya.

Demikian pula dengan semua hal yang lain yang kita kerjakan. Kesemuanya yang kita lakukan pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu. Dan semua yang kita kerjakan akan memiliki maksud dan tujuan atau yang kita sebut sebagai ‘return value’ (terj: nilai kembali) kepada kita, untuk keuntungan kita.

Hukum Relasi Pencipta-Ciptaan menyatakan:

Segala sesuatu ada karena direncanakan, dibuat, dan diciptakan; berasal dari inisiatif pencipta, oleh kehendak pencipta, untuk maksud dan tujuan pencipta, dan hasil akhirnya adalah bagi kesenangan pencipta.

Hal itu berlaku untuk segala hal yang dikerjakan oleh manusia, selain daripada manusia, tidak ada makhluk di dunia ini yang sanggup memikirkan konsep maupun aplikasi penciptaan tersebut.

Demikian pula dengan dunia ini. Dunia ini dengan segala keteraturannya haruslah memiliki pencipta. Manusia sejak dahulunya telah mengenal keterbatasan diri kita dihadapkan pada alam, kita takluk dibawah hukum alam, kekuatan alam, kuasa alam yang sedemikian dashyat. Kita mencoba memanipulasi alam, memanfaatkan alam, mengelola alam, akan tetapi tidak semua bisa kita kendalikan. Alam diciptakan dengan segala keteraturannya memiliki tujuan dan fungsinya untuk menjaga keseimbangannya sendiri.

Manusia sejak dahulunya telah mengenali dalam jiwanya bahwa ada sesuatu kuasa yang lebih besar yang mengendalikan alam. Mulai dari kekuatan alam yang paling besar, hingga keteraturan partikel yang paling kecil. Itu sebabnya sepanjang sejarah, bermunculanlah berbagai macam agama, kepercayaan, yang melakukan penyembahan terhadap kuasa ultimat tersebut. Meskipun pada abad pencerahan dan abad modern sempat ada upaya untuk melarikan diri dari kenyataan itu dan mereka menolak rasionalisme terhadap hal-hal yang sifatnya melampaui alam natural. Mereka mensejajarkan keadaan supranatural, suprarasional sebagai kondisi yang irasional.

Kendatipun demikian, kita mau ataupun tidak mau, terjepit dalam fakta konsep yang menuntut kita untuk mempercayai bahwa dunia ini adalah diciptakan. Ekstensi dari pernyataan tersebut adalah bahwa kita ini diciptakan, dan bukan melalui proses kebetulan yang terjadi dalam kosmik dunia makhluk hidup: dari binatang yang tidak berbahasa, muncul manusia yang berbahasa dan memiliki pemikiran eksistensialis serta memahami konsep kronos dan kairos (waktu dan momen).

Jika kita diciptakan oleh Tuhan, maka hukum relasi pencipta-ciptaan berlaku pula terhadap diri kita:
Yaitu bahwa manusia diciptakan dari inisiatif Tuhan, oleh kehendak Tuhan, bagi rencanaTuhan dan untuk tujuan yang telah ditetapkan Tuhan sebelumnya.

Yang menarik adalah bahwa pandangan ini juga terdapat dalam buku orang Kristen. Dan disana lebih jelas lagi dikatakan bahwa kita memiliki tugas dan tanggung jawab tertentu yang dituntut oleh pencipta kita; ada pekerjaan yang harus kita lakukan seturut dengan kehendak Tuhan. Yaitu pekerjaan baik yang telah dipersiapkan bagi kita sejak sebelum manusia dijadikan.

Akibat dari proposisi itu, berarti kita yang mengerti bahwa kita diciptakan oleh Tuhan, tidak diperkenankan untuk sembarangan hidup menurut sesuka hati sendiri dan melakukan semua yang kita mau hanya karena kita bisa. Secara tanggung jawab moral dalam kehidupan keseharian pun kita tidak diijinkan untuk bertindak lain daripada yang ditetapkan dalam batasan tanggung jawab dan hak kita.

Konsekuensi dari berlakunya Hukum Relasi Pencipta-Ciptaan ini seharusnya membuat manusia, yang katanya beragama dan mengakui Tuhan sebagai pemilik kuasa terbesar, menjadi makhluk yang menjaga hidup secara bertanggung jawab, menggunakan moralitas yang baik, dengan kebijaksanaan yang tinggi, mengerjakan segala sesuatu dengan berpikir panjang tentang segala sebab dan akibat yang dimasa sekarang maupun nanti dimasa yang akan datang. Manusia yang mengakui Tuhan itu seharusnya memiliki pengertian lebih dan memiliki hidup yang mengarah pada tujuan hidup yang ditetapkan seturut dengan tujuan penciptaan.

Kita mengenal kalimat, “Segala sesuatu terjadi pasti ada alasannya.”
Jadi apa alasan kita berada di dunia ini? Kita dilahirkan dalam dunia dimana “moralitas” merongrong kita sejak masa kecil kita, menuntut kita untuk melakukan perbuatan yang dipandang baik dan pantas. Dan terlebih daripada tuntutan moral, semua agama mengajarkan perbuatan mengenai kebaikan yang harus dilakukan. Dan beberapa agama yang lebih agung mengajarkan kita untuk mengejar kebaikan bagi seluruh umat manusia dan menjadi berkat dimanapun kita berada. Dan agama yang lebih agung lagi mengajarkan untuk mengasihi semua manusia seperti kita mengasihi diri sendiri, untuk mengasihi manusia lain sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan, bahkan hingga kita rela mengorbankan nyawa untuk supaya menjadi berkat dalam kehidupan orang lain.

Itulah tujuan kita diciptakan. Tujuan manusia berada dalam dunia ini.
Untuk memelihara dan mengelola dunia dan alam dibawah kita, dan menjadi makhluk yang bertanggung jawab terhadap pencipta kita. Bukan untuk hidup sesuka hati kita.
Sama seperti kita mengharapkan bahwa semua yang kita ciptakan haruslah berfungsi seturut dengan tujuan yang maksudkan, menghasilkan nilai seperti yang kita rencanakan. Dan semua yang tidak berfungsi seperti yang kita mau, kita kategorikan sebagai ciptaan yang rusak, dan semua yang rusak akan berakhir di tempat sampah.