Secara sosiologi, filsafat, dan kebudayaan, sudah sangat lama di dalam sejarah manusia kita mengenal apa yang disebut sebagai penyembahan terhadap suatu demiurge (Bahasa Inggris; terj: entitas/keberadaan yang menjadi sumber keteraturan dan penciptaan alam semesta) yang bisa berupa kuasa atau pribadi atau banyak pribadi yang dipercaya melampaui kekuatan manusia dan alam semesta, yang mengatur seluruh jalannya dunia ini. Ada suatu kekosongan yang terasa sangat perlu dan mendesak dalam diri manusia untuk diisi dengan sebuah pengakuan bahwa manusia harus tunduk mutlak di bawah kuasa itu.
Demikianlah muncul segala ide tentang agama dan kepercayaan sepanjang sejarah hidup manusia. Melalui rasionalisme otak, dihasilkan segala pengetahuan dan filsafat untuk mendefinisikan kuasa yang agung berikut sistematika kepercayaan mereka di dalam mitos dan legenda para dewa. Melalui perasaan dan persepsi hati, dihasilkan segala pengertian dan filsafat yang mendefinisikan jalan tentang kebenaran yang megah dalam pengajaran-pengajaran tentang kehidupan.
Sejalan dengan itu, muncullah kemudian berbagai macam agama dan kepercayaan yang membentuk suatu sistem pengetahuan dan pengertian yang kemudian dijadikan penuntun dan pedoman hidup bagi manusia. Berbagai macam, namun dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu semua kepercayaan yang sifatnya antroposentris (berpusat pada manusia) dan theosentris (berpusat pada tuhan).
Untuk membatasi keluasan dan kebesaran topik ini, antroposentris theistik dan theosentris akan menjadi perspektif utama dalam tulisan ini. Saya tidak akan membahas gnostisisme dengan ekstensinya dan saya tidak sanggup membahas perdebatan agnostisisme.
Secara umum, segala hal dalam berbagai keunikan konsep dan prinsip masing-masing yang dipercaya oleh manusia sebagai demiurge akan disebut sebagai ‘agama’. Hanya ada dua macam kelompok besar agama dalam dunia ini sepanjang sejarah manusia sejak semula. Agama yang sifatnya antroposentris, yaitu agama yang menjadikan manusia sebagai pusat. Dan agama yang sifatnya theosentris, yaitu agama yang menjadikan tuhan sebagai pusat. Ada sangat banyak kata tuhan yang digunakan dalam kesemua agama tersebut. Ada banyak pengakuan terhadap berbagai figur yang disebut tuhan dalam bentangan sejarah. Dan selamanya selalu ada keterkaitan antara prinsip ketuhanan dan prinsip kebenaran yang tidak bisa dilepaskan dalam esensi setiap agama.
Tuhan adalah pasti benar dan kebenaran sejati pasti adalah kebenaran tuhan, menurut pengikutnya masing-masing. Jika tuhan bisa salah atau jika tidak ada kebenaran dalam dirinya, maka pasti tuhan itu bukan tuhan. Sekarang, permasalahannya adalah siapakah penentu kebenaran tuhan? Tuhan itu benar atau salah menurut siapa, menurut manusia kah atau menurut tuhan? Apakah tuhan berhak menentukan kebenarannya sendiri ataukah manusia yang lebih berhak menentukan?
Ada penyembahan tuhan yang menuntut pengorbanan manusia; baik berupa materi, jiwa, hingga nyawa. Ada pula penyembahan tuhan yang menuntut pengorbanan hewan. Mana yang lebih benar? Apakah kita akan mengatakan bahwa pengorbanan hewan itu benar. Pengorbanan manusia itu juga benar asal tidak mengambil nyawanya atau asal manusia tidak disembelih. Jadi siapakah penentu kebenaran?
Yang terjadi kemudian adalah manusia mulai menilai tuhan yang lain, agama yang lain dari yang dia percaya, karena menurut dia, tuhan yang lain itu salah kalau meminta manusia untuk disembelih. Tapi bagi orang-orang yang mengikuti ajaran agama itu, hal itu dianggap wajar. Apakah memang manusia merupakan titik mutlak penentu kebenaran dalam agama? Jika jawabannya adalah ‘ya’, maka suatu pandangan terhadap suatu agama atau kebenaran terhadap suatu agama bersifat antroposentris.
Antroposentris
Inilah yang terjadi sepanjang sejarah, manusia saling menghakimi dengan standar masing-masing dan saling bertikai karena perbedaan sudut pandang. Menganggap diri lebih benar daripada yang lain. Terlihatlah dengan sangat jelas, bahwa ternyata ada kebenaran yang benar-benar BENAR dan ada kebenaran yang tampaknya kurang BENAR. Hal itu terdapat dalam argumentasi yang berbasis pada pemikiran manusia (antroposentris). Yang benar menurut manusia yang satu belum tentu benar bagi manusia yang lain. Hal ini menimbulkan upaya untuk mencari kebenaran yang sejati dalam seluruh pemikiran manusia, mulai dari Shakyamuni, Lau Tzu, Confucius, Plato, Socrates, dan Aristotle.
Inilah yang terjadi dalam perdebatan agama antroposentris. Agama yang berpusat pada manusia. Manusia memiliki agama yang berasal dari pemikirannya sendiri tentang tuhan, menjadikan tuhan itu dari gambar dan rupa manusia atau rupa hewan atau yang lainnya, dan disembah untuk mendatangkan manfaat bagi manusia. Manfaatnya adalah untuk menjadi jaminan dalam kehidupan setelah kematian atau sekedar alasan manfaat yang praktis yaitu untuk mendatangkan kehidupan yang nyaman dan jauh daripada kecelakaan.
Upaya mencari kebenaran itupun kemudian menyatakan bahwa kebenaran itu tidak bisa berasal dari manusia karena manusia ternyata bisa bersalah dan kebenaran dalam sifat manusia tidak bersifat mutlak. Jika demikian, bagaimana mungkin dari dalam diri manusia bisa memunculkan kebenaran yang benar-benar BENAR? Jika manusia pasti bersalah, bagaimana dengan agama yang berasal dari kebenaran dan pemikiran menurut manusia yang bersalah, tidakkah berarti bahwa agama itu pula akan memiliki kesalahan-kesalahan di dalam dirinya sendiri?
Demikianlah kemudian orang mulai menyadari bahwa melalui diri manusia dan agama yang muncul dari dalam diri manusia memiliki kelemahan yang besar. Manusia hanya mampu untuk memikirkan jalan keluar di dalam perbuatan baik dan berharap bahwa perbuatan baik itu nantinya akan membawa dia kepada tuhan. Namun tidak ada kepastian di dalam pemikiran itu dan tidak jalan keluar yang mutlak melalui kebenaran tersebut.
Theosentris
Setelah tahun masehi, muncul pemikiran baru dalam dunia, yaitu bahwa kebenaran itu baru benar-benar BENAR jika dimunculkan oleh kebenaran yang tidak berasal dari manusia, melainkan langsung dari tuhan. Tuhan dianggap sebagai figur mutlak di luar diri manusia yang tidak bisa bersalah, sehingga kebenaran tuhan juga tidak bisa bersalah. Tuhan dijadikan figur utama dalam agama dan berada dalam tingkatan yang lebih tinggi daripada manusia di dalam kesempurnaannya.
Karena itu kemudian muncul pula banyak agama yang katanya dari tuhan, dalam berbagai variasi dan mengakui bahwa di dalam dirinya tidak bersalah, dibanding dengan semua agama lain yang berasal dari pemikiran dan bijaksana manusia yang bercacat di dalam dirinya sendiri. Jika suatu agama adalah berasal langsung dari tuhan yang tidak bersalah, maka agama itu pasti tidak bersalah.
Setelah tahun masehi itulah muncul istilah ‘wahyu’ yang secara spesifik dikaitkan dan dimengerti sebagai ‘tuhan sendiri yang menyatakan dirinya secara terbuka dan terus terang kepada manusia’. Wahyu adalah kebenaran tuhan yang diturunkan dari kekekalan yang statis kepada dunia sementara yang sifatnya dinamis. Dari sudut pandang dan gaya bahasa agamawi: Turunnya tuhan yang sejati yang menyatakan dirinya ke tengah-tengah dunia itulah disebut sebagai wahyu tentang kebenaran yang sejati. Tuhan yang menyatakan dirinya kepada manusia. Agama theosentris ini kemudian merasa lebih percaya diri akan kemutlakkan kebenarannya setelah mereka membandingkan dirinya dengan agama lain yang sifatnya antroposentris.
Namun dengan adanya berbagai agama yang berasal langsung dari tuhan yang menyatakan dirinya ketengah-tengah sejarah, muncul kemudian perdebatan baru, manakah diantara agama theosentris itu yang benar-benar BENAR? Karena semua yang sifatnya sejati seharusnya hanya boleh ada satu. Seharusnya hanya ada satu yang benar. Di luar yang satu yang benar itu berarti ada yang tidak benar. Jika semua manusia yakin bahwa semuanya benar, maka tidak akan pernah ada pertikaian antar umat beragama. Tidak akan ada orang atau kelompok yang merasa agamanya lebih benar daripada yang lain yang kemudian mengatasnamakan agama untuk menganiaya agama yang lain.
Penganiayaan antara manusia beragama atas nama agama justru terjadi saat manusia merasa mutlak yakin bahwa agamanya yang katanya berasal dari tuhan itu adalah kebenaran yang sejati. Sebelum muncul keyakinan itu, penganiayaan antar manusia lebih bersifat antroposentris, yaitu kebencian, iri hati, dengki, keserakahan, dan seterusnya.
Hal ini menimbulkan kerumitan yang baru. Karena sama-sama merasa bahwa kebenaran dan agama yang mereka miliki adalah dari tuhan langsung, semua merasa bahwa kebenaran yang mereka miliki adalah yang benar-benar BENAR. Sikap kritis yang mula-mula ada untuk mempertanyakan dan memikirkan tentang kebenaran, sekarang digantikan dengan berbagai perilaku fanatisme mulai dari yang sifatnya membabi buta, tertutup, tidak berpengetahuan ataupun yang berpengetahuan namun sempit dan tertutup; Hingga kepada fanatisme yang berpengertian dan terbuka yang sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai perilaku fanatik melainkan sebuah keyakinan yang berpengetahuan.
Antroposentris Dalam Theosentris
Hal lain yang muncul kemudian adalah bahwa karena kebenaran itu di wahyukan, maka kebenaran itu harus dipelajari dengan metode yang berbeda karena bukan berasal dari pengetahuan manusia. Dalam proses pembelajaran dan upaya memahami kebenaran tuhan, terjadi kesulitan yang sama dengan semua permasalahan agama yang berasal dari alam dan pemikiran manusia. Interpretasi terhadap alam yang dilakukan oleh orang yang berbeda, menimbulkan interpretasi yang berbeda. Demikian pula interpretasi terhadap kebenaran yang katanya dari tuhan, dilakukan oleh orang yang berbeda, menimbulkan pemahaman yang berbeda. Dan akhirnya, dalam satu alam, muncul berbagai agama. Seperti juga dari yang bahkan katanya satu kebenaran, muncul prinsip agama yang berbeda. Dalam satu interpretasi kebenaran, muncul kepercayaan yang berbeda dalam aplikasinya. Dan terus berulang-ulang terjadi berbagai perbedaan. Hal itu dapat terjadi semata-mata karena cara interpretasi kebenaran yang katanya diwahyukan, diperlakukan sama halnya dengan kebenaran yang berasal dari alam, yaitu di tinjau dari perspektif manusia sebagai pusat kebenaran.
Manusia tetap saja tidak memahami satu hal penting. Ada satu kegagalan dan kesalahan yang terus menerus dilakukan oleh kebanyakan manusia dalam upaya menginterpretasi entah alam, entah kebenaran, entah yang dari pemikiran manusia maupun dari wahyu: manusia menginterpretasikan segalanya secara antroposentris. Saya tidak bisa menyalahkan kegagalan interpretasi terhadap segala hal yang pada dasarnya adalah antroposentris dari sudut pandang antroposentris. Tapi saya menyesalkan adanya upaya meninjau segala hal yang bukan antroposentris (dalam hal ini bersifat theosentris) dari sudut pandang antroposentris.
Kita harus meninjau wahyu yang katanya berasal dari tuhan, tentunya dari sudut pandang tuhan. Tuhan yang mewahyukan kebenarannya, maka kebenaran itu harus kita tinjau secara theosentris. Akan menimbulkan kekacauan pengertian jika sesuatu yang theosentris pun kemudian kita turunkan dan kita analisa secara antroposentris. Jika kita meyakini bahwa wahyu itu adalah tuhan yang berbicara, maka sudah sepatutnya kita mendengarkan apa yang tuhan mau bicarakan.
Namun seringkali manusia hanya mau mendengarkan apa yang dia mau dengar, melihat apa yang mau dia lihat, dan akhirnya, dia hanya bisa mengerti tentang apa yang dia mau mengerti. Sesuatu yang theosentris pun kemudian menjadi bersifat antroposentris. Dengan munculnya orang-orang yang menginterpretasikan agama seturut dengan kepentingan dia, keinginan dia, tujuan dan rencana, baik secara religius ataupun pragmatis, baik untuk tujuan sosiologi, politik, ideologi, agama, dan seterusnya, menjadikan agama yang katanya paling theosentris bisa menjadi agama yang sifatnya tidak berbeda jauh dengan agama lain yang sifatnya antroposentris. Agama yang dari tuhan pun akan kemudian menjadi agama yang sangat bersifat humanis, mengutamakan kepentingan manusia dengan segala keinginan dan nafsunya yang tidak terpuaskan. Untuk kemudian menjadikan tuhan sebagai sarana mencapai cita-cita, memperalat tuhan untuk membenarkan diri sendiri, dan kemudian menjadikan kekekalan tuhan persis seperti keadaan dunia ini berikut dengan egoisme manusia.
Tuhan pun ditakar menurut pemikiran manusia dan ajaran tuhan dianggap tidak masuk akal manusia, kecuali kebesaran dan kuasa dia yang bisa diperalat untuk kepentingan manusia. Bahwa di dalam tuhan tidak ada yang mustahil, bahwa di bersama tuhan semua akan baik-baik saja; namun tidak ada upaya sedikitpun dari manusia untuk mencari tuhan kecuali untuk mencari berkatnya untuk memuaskan segala keinginan manusia dan menjadikan tuhan seperti pembantu atau dokter atau manager atau pesuruh dan seterusnya.
Bahwa di surga nanti kita akan mendapat tempat yang luas, istana yang besar, emas dan permata yang berlimpah, kenikmatan dan kepuasan badani, menjadi raja dengan kuasanya dan memerintah dunia di sana, dan seterusnya. Kesemuanya persis seperti halnya keadaan dunia ini dibawa ke tempat tuhan berada, katanya.
Hingga Karl Marx menteriakkan seruannya yang terkenal, “Agama dibuat oleh manusia; agama tidak membuat manusia menjadi manusia. Agama dibuat oleh negara dan masyarakat. Agama adalah desahan nafas putus asa oleh makhluk yang tertekan, oleh perasaan dari dunia yang tidak memiliki hati, oleh jiwa dari dunia yang penuh dengan kekosongan hidup. Agama adalah candu bagi masyarakat.”
Dengan perilaku manusia sepanjang jaman, ucapan itu sama sekali tidak bisa ditentang.
Perilaku kebanyakan agamawan membuktikan hal tersebut dengan teori yang muluk-muluk, idealisme yang seolah tinggi namun penuh diselubungi maksud dan agenda sosial, bahkan politik. Serta mereka mengajarkan pengajaran yang semuanya mengumbar nafsu yang begitu remeh dan hina yang bahkan tidak ditemukan dalam agama-agama yang katanya berpusat pada manusia, agama yang katanya rendah karena kebenarannya berasal dari manusia yang bisa salah. Namun agama-agama yang katanya berasal dari tuhan ternyata memiliki idealisme yang tidak agung.
Kontradiksi Dalam Theosentris
Seharusnya, kebenaran yang katanya berasal dari tuhan di interpretasikan secara theosentris dipelajari dengan setia, dengan taat, dengan teliti, dan dengan bertanggung jawab. Agama yang berasal dari tuhan tersebut adalah merupakan wahyu tuhan, tapi manusia telah menerima wahyu itu dan memperlakukan wahyu itu dengan tidak sepantasnya. Dengan pemahaman yang tidak komprehensif, menghasilkan penafsiran dan pengertian yang saling berkontradiksi dan kacau balau. Penuh perkecualian dan pertentangan, tidak bersifat universal, integral, dan moral yang tinggi. Kesemuanya bertentangan dengan prinsip filsafat tentang kebenaran yang sejati.
Hal ini mengingatkan saya pada sebuah buku Kristen yang pernah saya baca, “Manusia adalah makhluk yang cinta diri (baca: humanis) dan cinta uang (baca: materialis). Mereka menolak kebenaran Tuhan, menolak Dia yang diutus Tuhan untuk memberitakan kebenaran Tuhan. Mereka menganggap berita Tuhan sebagai kebodohan dan ketidakmasukakalan. Mereka berkata bahwa mereka mencari kebenaran dan mencari Tuhan, namun mereka hanya mencari kebijaksanaan yang masuk akal dan mencari tanda-tanda kuasa mujizat. Ketika Tuhan datang ketengah-tengah mereka, menyatakan dirinya dan menjadi satu-satunya manusia dalam sejarah dunia yang mengatakan bahwa Dia berasal dari TUHAN, manusia membunuh Dia. Tidak seorangpun mencari Tuhan. Satu pun tidak. Tidak ada yang baik, satupun tidak. Hanya Tuhan yang baik.”
Hal tersebut sangat menarik bagi saya sebagai kontradiksi kebenaran dalam diri manusia.
Hal ini pula yang seharusnya membawa orang yang katanya mencari kebenaran kepada kesimpulan bahwa upaya persaingan jumlah pengikut suatu agama adalah omong kosong dan pekerjaan yang sia-sia. Siapapun boleh pindah dari agama satu kepada agama lain. Tidak ada bedanya untuk tuhan di dalam kekekalan. Jika tuhan itu adalah TUHAN, dengan segala kuasa yang MUTLAK, bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-NYA, seperti pemikiran agama-agama yang antroposentris (terlebih lagi seharusnya oleh agama yang katanya theosentris), maka seharusnya DIA berdaulat penuh untuk memilih orang yang DIA mau menjadi milik-NYA.
Sama juga seperti orang-orang yang melakukan tindakan anarkis demi agamanya untuk menolong tuhannya, membela tuhannya, dan menjaga dan melindungi kebenaran yang katanya dari tuhan.
“The truth is like a lion; you don’t have to defend it. Let it loose; it will defend itself.” – Augustine of Hippo
Terjemahan: Kebenaran yang sejati itu seperti singa; sama sekali tidak perlu dibela. Biarkan dia lepas dan bebas; dia akan membela dirinya sendiri.
Sekali lagi, orang yang tahu tentang kebenaran, dia tidak perlu diberi tahu. Orang yang tidak tahu tentang kebenaran, dia tidak bisa diberi tahu. Ini adalah paradoks tentang ‘tahu’. Karena semua itu adalah tentang wahyu yang dipercaya berasal dari tuhan. Kebenaran dibukakan ke dalam diri seseorang sebagai wahyu, menjadikan seseorang menjadi tahu bahwa dia tidak tahu. Siapa yang dapat memberi tahu dia bahwa dia tidak tahu, jikalau dia tidak tahu bahwa dia tidak tahu selain daripada wahyu tuhan memunculkan suatu perasaan ketidaktahuan. Dengan jujur, pemikiran ini bukan dari saya, melainkan pemikiran Cornelius Van Til.
Dalam pengertian tentang wahyu ini, seharusnya penganut agama yang katanya percaya bahwa katanya kebenaran itu di wahyukan, tidak perlu ribut dengan orang lain yang berbeda agama, karena mereka seharusnya percaya bahwa kalau wahyu tuhan turun atas manusia yang lain, maka mereka akan menjadi satu agama. Akan tetapi, tampaknya semua orang sedang berusaha membantu tuhan dan mau berbuat jasa untuk tuhan, seolah tuhan tidak bisa apa-apa tanpa pertolongan manusia (sekali lagi, agama theosentris diseret menjadi agama antroposentris).
Berkenaan dengan penyebaran agama, setiap agama (baik yang antroposentris maupun theosentris) harus mengakui bahwa tujuan dari agama adalah untuk menjadi kebaikan bagi seluruh umat manusia. Menjadi panduan dan pegangan manusia dalam perilaku dan perbuatan. Sebarkanlah itu kepada semua orang, supaya masyarakat menjadi lebih baik. Supaya manusia yang berpegang pada kebenaran diri sendiri disadarkan bahwa ada kebenaran yang lebih tinggi. Bahkan masyarakat Budhisme menyebarkan dharma, menjadi teladan, hidup baik dan toleran dengan semua makhluk. Memberikan pengajaran kepada semua manusia tentang jalan dan kebaikan. Tidakkah itu baik adanya. Demikian pula dengan semua yang dikerjakan Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, dan Dalai Lama. Mereka menyebarkan pengajaran yang baik dengan damai. Kenapa kemudian malah agama yang mengaku katanya sebagai kebenaran yang sejati lebih banyak membuat kekacauan daripada menjadi berkat?
Paradoks Kebodohan dan Kebijaksanaan Manusia Dalam Theosentris
Ketika perspektif antroposentris digunakan untuk memahami agama theosentris, kembali muncul upaya manusia berusaha berbuat baik supaya dirinya diterima tuhan. Kendatipun seharusnya sudah jelas bahwa perbuatan baik tidak berlaku dalam agama theosentris karena tidak ada seorangpun sanggup berbuat baik. Hal itu semata-mata karena tidak ada yang baik, hanya tuhan yang baik (katanya orang-orang yang memiliki agama yang theosentris).
Tuhan sendiri harus mengakui bahwa dia telah menurunkan kebenarannya, bahkan mengutus Anak-Nya. Yang sering menjadi keliru adalah manusia yang selalu terus kembali menggunakan dirinya sebagai pusat dari segala sesuatu dan menjadikan dirinya sebagai tolok ukur dalam perspektifnya sendiri.
Tidakkah katanya wahyu adalah inti dari agama theosentris, bahwa tuhan sendiri harus membukakan kebenarannya sebagai kebenaran yang sejati. Bahwa tuhan itu sendiri harus mengakui oleh dirinya sendiri sebagai kejujuran yang satu-satunya dan tidak ada tuhan yang lain selain daripada dia. Namun manusia terus berusaha mencari kebenaran yang sejati tanpa menghiraukan wahyu tuhan, kebenaran yang benar-benar BENAR dalam dunia ini. Juga bahkan tidak terima ketika tuhan itu sendiri kemudian telah datang dan berkata, “Akulah Tuhan. Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup.”
Itulah inti dari agama yang katanya diwahyukan. Kebenaran yang tidak berasal dari manusia yang bisa bersalah.
Dalam pengertian wahyu Tuhan orang Kristen, Tuhan dikatakan dalam kedaulatan-Nya tahu bahwa kebenaran-Nya adalah merupakan kebodohan yang tidak masuk akal bagi manusia yang antroposentris; karena itulah Dia kemudian mewahyukan kebenaran sejati itu bagi mereka yang bersedia menjadi bodoh demi Anak-Nya yang tunggal yang menjadi utusan-Nya. Bahwa keselamatan hanya datang oleh Dia satu-satunya, yang dengan kebodohan-NYA mati di atas salib untuk menebus dosa manusia. Supaya manusia yang bersedia menjadi tolol (baca: theosentris) bisa diselamatkan bukan oleh perbuatan baik. Supaya di dalam penebusan-Nya, orang baru dimampukan untuk berbuat baik, karena sekarang ‘baik’ itu bukan lagi menurut manusia, tetapi apa yang ‘baik’ menurut wahyu Tuhan: keadilan, murah hati, rendah hati, dan mengikut Tuhan. Dan tidak ada hukum dan etika dunia yang bertentangan dengan kebaikan itu.
-7.257472
112.752088
You must be logged in to post a comment.