Membela yang Lemah Vs. Membela yang Benar: Ketika yang Lemah Menganiaya yang Kuat.

Sepanjang sejarah, banyak kisah tentang kaum yang tertindas dan penganiayaan. Yang kuat menindas yang kurang kuat, yang kaya menindas yang kurang kaya, yang besar menindas yang kurang besar, yang pria menindas yang kurang pria, dan seterusnya. Dan kisah ini menjadi sumber inspirasi dan imajinasi dari cerita yang menjadi luapan hati banyak orang dalam masyarakat tentang kisah para pahlawan super. Sebuah dambaan yang kekanak-kanakan, mungkin, akan tetapi siapakah yang tidak merasa memiliki relasi dengan fenomena para pahlawan super?

Jiwa yang tertindas, entah mengalami penindasan oleh teman bermain di sekolah, atau mengalami perlakuan dan ketidakadilan di kantor, atau terjadi tragedi dalam kehidupan yang berada diluar kendali. Seandainya ada seseorang diluar sana yang bisa melepaskan kita dari pergumulan hidup kita. Akan tetapi hal itu tidak ada. Tidak ada pahlawan super. Tidak ada yang mendengarkan seruan minta tolong kita. Tidak ada yang datang menolong saat kita terdesak.

Kita harus berjuang sendiri.

Mempertahankan hak kita sendiri. Demi diri kita sendiri. Karena adalah hak kita untuk bisa memiliki kehidupan yang aman. Adalah hak kita untuk hidup sejahtera. Adalah hak kita untuk memperjuangkan apa yang kita inginkan.
Atau benarkah demikian?

Hak Vs Kewajiban

Manusia selalu ribut tentang HAK-nya. Dan paling cepat merespon ketika merasa HAK-nya diganggu. Dan untuk mempertahankan apa yang dirasa menjadi HAK-nya, manusia melakukan sedemikian banyak hal.
Apakah HAK datang begitu saja? Jawabannya adalah TIDAK.

Hati nurani setiap orang menyadari jika saya katakan bahwa seorang anak perlu dididik dengan baik. Dia memiliki hak yang harus dikompensasikan dengan kewajiban. Setiap orang harus belajar, baru berhak mendapatkan pengakuan prestasi. Setiap orang harus bekerja, baru berhak mendapatkan upah. Apakah hanya sedemikian? Sekali lagi jawabannya adalah TIDAK.

Belajar kimia selama 5 menit tidak akan membuat seorang anak memiliki HAK untuk menjadi juara kelas dan memperoleh beasiswa. Bekerja secara sembarangan dengan kualitas rendah tidak membuat seseorang memiliki HAK untuk mendapatkan penghasilan yang seperti yang dia inginkan.

Hak akan selalu diberikan setelah kewajiban dijalankan. Bukan sebelumnya. Anda tidak bisa melamar kesebuah perusahaan sebagai petugas resepsionis dan langsung meminta upah sebesar 7 juta per bulan. Anda juga tidak bisa melamar kesebuah perusahaan tanpa ketrampilan sama sekali dan berharap bahwa hasil kerja Anda harus dihargai sesuai dengan yang Anda mau. Bukan Anda yang memberi penilaian. Itu bukan hak Anda. Anda berkewajiban menunjukkan kemampuan Anda terlebih dahulu, sebelum hak itu diberikan kepada Anda.

Kasih vs. Keadilan

Bagaimana dengan mereka yang kurang beruntung dan tidak mendapatkan kesempatan untuk memupuk ketrampilan? Apakah mereka memiliki hak? Tentu saja!

Sejak dunia jatuh dalam dosa, tidak ada yang sempurna. Dunia ini tidak lagi mencerminkan kemuliaan dan kehormatan penciptanya. Dalam banyak hal, terjadi ketimpangan dan jurang pemisah. Ada yang lebih beruntung dengan segala kesempatan (yang tidak selalu dimanfaatkan dengan baik), dan ada yang kurang beruntung dengan kesempatan yang lebih terbatas (yang -sekali lagi- juga tidak dimanfaatkan dengan baik). Dan yang dari semua kelompok manusia itu, mereka yang paling celaka adalah mereka yang malas dan enggan berjuang.

Yang lebih beruntung, seharusnyalah memiliki kasih dan empati kepada mereka yang kurang beruntung. Memberikan kepada mereka kesempatan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Karena itu bermula dari beberapa negara dengan latar belakang Kristen, ada yang disebut upah minimum. Sehingga orang dengan ketrampilan paling rendah pun boleh memiliki pendapatan yang cukup walaupun seharusnya dia tidak layak dibayar dengan upah setinggi itu. Itu yang disebut sebagai keadilan.

Diharapkan dengan upah yang lebih baik, kesempatan semakin terbuka bagi setiap orang untuk boleh mengasah ketrampilannya dan menciptakan peluang untuk kehidupan yang lebih baik. Dengan upah minimum yang dia peroleh, dia boleh melatih dirinya dengan ketrampilan untuk menggantikan kesempatan belajar yang mungkin selama ini tidak pernah dia dapatkan. Dengan bertambahnya ketrampilan diri, dia bisa mendapatkan kenaikan jenjang karir untuk kemudian mendapatkan upah yang lebih baik dan kehidupan yang seperti dia inginkan.

Akan tetapi, sekali lagi, manusia yang paling celaka adalah mereka yang enggan belajar dan menggunakan uangnya untuk hal yang lebih tidak berguna.

Saya sadari kalimat barusan sudah dua kali saya tuliskan. Bekerja demi masa depan dengan tekun dan rajin dan menahan diri; ada satu ilustrasi yang sering saya gunakan, harap dibaca dan dimengerti dari sisi analoginya saja, tidak perlu dijadikan bahan perdebatan ataupun hiper-rasionalitas:

Semisalkan kita berada dalam satu desa kecil yang miskin, makanan kita sehari-hari adalah nasi dan jagung, dan kemudian saya dan Anda tiba-tiba mendapatkan seekor ayam yang gemuk, apakah yang akan Anda lakukan terhadap ayam itu? Apakah akan Anda goreng atau panggang atau rebus dan dibuat opor? Apakah Anda makan untuk hari ini dan esok lagi? Maksud saya, kita hampir tidak pernah bisa makan daging ayam. Dan ini kesempatan baik untuk makan daging ayam, tidak kah demikian? Dan jawaban saya adalah TIDAK.

Anda akan makan ayam hari ini.

Saya akan makan nasi jagung hari ini. Ayam itu akan saya pelihara. Dia akan bertelur. Dan setelah dia bertelur, saya masih akan makan nasi jagung. Seminggu, dua minggu, tiga minggu, sebulan, dua bulan. Saya masih makan nasi jagung. Telur saya kumpulkan, saya jual dipasar di kota terdekat. Dari telur itu, ada yang saya biarkan menjadi anak ayam. Setelah beberapa bulan, Anda sudah lupa rasanya makan ayam gemuk. Dan saya masih belum makan daging ayam. Anak ayam akan menjadi ayam, dan ayam-ayam itu akan bertelur lebih banyak dan menghasilkan pula banyak ayam kecil. Setengah tahun berlalu, saya baru makan telur ayam, itupun kadang-kadang, karena memelihara ayam itu bukan hal murah. Saya yakin saya tidak perlu meneruskan contoh ini; Anda sudah mengerti maksud saya.

Banyak orang menerima upah mereka dan serta merta membelanjakannya untuk membeli yang mereka MAU, bukan yang mereka PERLU. Mereka menghabiskannya untuk gaya hidup. Bukannya berusaha menambah ketrampilan mereka dibidang kerja yang mereka geluti demi masa depan mereka, mereka berpuas diri dan bermimpi kapan akan naik gaji.

Adil itu bukan “sama”. Sama rata itu bukan adil. Anda tidak mungkin memberi makanan dengan porsi yang sama kepada anak perempuan Anda yang berusia 5 tahun dengan anak laki-laki Anda yang berusia 25 tahun. Tapi kesemuanya Anda beri makan. Itulah kasih dan adil.
Adil itu bukan menyamakan lulusan sarjana dengan mereka yang lulusan SD. Penyamarataan yang bodoh itu akan membangun masyarakat yang bodoh. Untuk apa sekolah tinggi, kalau bisa, tidak sekolah pun akan disamaratakan. Inilah yang membuat negara komunis dan sosialis kacau balau.

Penganiayaan Dalam Masyarakat

Ketidakrataan dalam masyarakat menimbulkan ketegangan-ketegangan yang terjadi di semua negara. Yang lemah, yang miskin, yang minoritas, merasa ditindas. Setelah sejarah manusia dahulu penuh dengan penindasan oleh pemerintah kepada rakyat, kaum bangsawan kepada rakyat jelata, kaum intelektual kepada kaum awam, masyarakat manusia mulai berusaha berubah. Penindasan dihilangkan dan diupayakan penyamarataaan. Yang superior berusaha mengerti kesulitan yang lebih inferior. Perbudakan dihapuskan hampir disemua bagian dimuka bumi.

Keadaan masyarakat mulai membaik. Setidaknya sampai kesadaran tentang hak dan ketidakmengertian tentang kewajiban mengambil alih situasi. Dimanapun hak seseorang diributkan, ditempat yang sama ada kewajiban yang diabaikan dan hak orang lain dianiaya.

Sekarang, kaum inferior bermegah diatas kelemahannya dan menganiaya yang superior. Rakyat menganiaya pemerintah, yang miskin menganiaya yang kaya, yang lemah menganiaya yang kuat, dan seterusnya. Dan semua pihak yang dianiaya tidak tahu bagaimana harus bersikap, karena sikap keras akan dikatai sebagai sikap opresif dan penganiayaan terhadap kaum lemah (lagi). Hal itu terus berlanjut hingga kejahatan menganiaya kebaikan. Kriminal menganiaya pengadilan, penjahat menganiaya petugas hukum, orang yang merasa dirinya suci menindas orang yang benar, dan seterusnya.

Tidak ada sikap tegas yang berani diambil. Dan kebenaran dipermainkan. Yang lemah harus dibela. Saya pribadi tidak mengerti darimana asal muasal pemikiran ini, akan tetapi seingat saya hal itu terus digaungkan sepanjang masa sekolah dasar saya, “Membela kaum lemah.” Apakah itu hanya saya, atau Anda juga sependapat dengan saya. Tidakkah seharusnya kita membela yang benar, bukan yang lemah.

Karena itu didalam Kekristenan, adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan antara kasih dan keadilan yang ditekankan secara terus menerus dan bersama-sama. Salah satunya tidak boleh dihilangkan. Kasih tanpa keadilan adalah kasih yang lemah, tidak berdaya, merusak, seperti kalimat “membela yang lemah”. Keadilan tanpa kasih adalah hukum yang kejam, tidak bisa melihat sisi keberdosaan kemanusiaan dan pengampunan.

Disiplin Diri

Seberapa sering kita mendengar atau bahkan kita sendiri mengucapkan kalimat-kalimat sedemikian, “Saya ingin mendapatkan nilai baik, tapi kemarin saya tidak sempat belajar,” atau “Saya ingin menurunkan berat badan, tapi saya sangat suka sekali gorengan dan kue coklat,” atau “Saya sudah berusaha untuk bangun lebih pagi supaya tidak terlambat masuk kerja, tapi saya tidak punya cukup motivasi,” atau yang terakhir ini “Saya sudah mencoba mencari motivasi baru supaya pekerjaan saya ini tidak terasa membosankan sehingga saya bisa berprestasi.”

Seringkali kita mengira kurangnya motivasi merupakan sebab utama kegagalan kita. Namun saya sangat yakin, kekurangan atau ketiadaan motivasi bukanlah sumber permasalahan disini. Beberapa orang mengira bahwa dirinya membutuhkan motivasi, sementara yang sebenarnya dia butuhkan adalah disiplin diri. Meninjau semua contoh di atas, ingin mendapatkan nilai yang baik sudah merupakan motivasi belajar lebih giat; Kemauan menurunkan berat badan adalah motivasi; Upaya untuk bangun lebih pagi supaya tidak terlambat masuk kerja adalah motivasi; Memiliki keinginan untuk berprestasi, itu sudah merupakan motivasi. Jadi motivasi sudah terlebih dahulu ada melalui kesadaran untuk melakukan sesuatu.

Yang mereka butuhkan bukanlah motivasi, mereka membutuhkan disiplin diri.

Orang yang keras terhadap dirinya sendiri adalah orang yang jarang merasa menyesal. – Confusius

Disiplin didefinisikan sebagai kegiatan aktif untuk mengikuti suatu aturan atau ketentuan perilaku tertentu. Seringkali disiplin berkaitan langsung dengan konsekuensi dan hukuman yang bersifat menekan munculnya perilaku yang menyimpang dari aturan. Dengan demikian, secara prinsip, disiplin diri memiliki makna sebagai upaya aktif untuk menekan keinginan dasar dari diri sendiri yang tidak baik atau tidak benar atau tidak tertib dengan cara mengekang keinginan dan mengendalikan perilaku diri sendiri. Hingga sampai batas tertentu, disiplin diri merupakan suatu bentuk dari motivasi.

Disiplin diri adalah proses yang terjadi ketika seseorang menggunakan pengertiannya untuk mengekang segala keinginan yang tidak sejalan dengan motivasi atau idealisme atau tujuan hidup seseorang. Secara sederhana, disiplin diri berarti menentang kesenangan diri. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang cinta diri (baca: humanis). Segala yang diinginkan oleh manusia selalu mengarah pada hal yang remeh, yang impulsif, dan tidak baik atau tidak benar. Karena itu manusia harus dididik supaya menjadi manusia yang seutuhnya ‘manusia’.

Saya tidak pernah setuju dengan pemikiran dunia psikologi yang menyatakan bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Karena saya yakin tidak seorangpun merasa mudah untuk mengendalikan keinginan dirinya sendiri. Anak-anak harus dididik dengan tekun dan berulang-ulang, dengan keras dan susah payah sebelum dia menjadi dewasa dan berperilaku dengan patut. Setelah dia dewasa dan mengetahui segala hal yang baik di dalam kepalanya pun, yang jelek dan salah yang dikerjakannya.

Contoh yang paling saya sukai adalah perihal perilaku merokok. Siapa yang tidak tahu bahwa merokok itu tidak baik dan sangat merusak kesehatan? Mulai dari orang yang tidak bisa membaca hingga yang berpendidikan sangat tinggi, hingga mereka yang duduk dalam pemerintahan yang mengatur jutaan orang dalam sebuah bangsa, tidak mungkin mereka tidak mengetahui bahaya merokok terhadap dirinya dan terhadap orang disekitarnya. Tapi betapa susahnya bagi seseorang ketika bahkan dirinya sendiri berusaha untuk berhenti merokok.

Karena manusia itu pada dasarnya liar dan rusak maka manusia perlu dididik. Mula-mula oleh orang tua, orang yang lebih tua, pendidik, dan hingga tiba waktunya dia harus mendidik dirinya sendiri dan bertanggung jawab penuh terhadap dirinya sendiri. Dengan akal budi dan pikirannya, dia harus bisa mengarahkan hidup dan tingkah laku dalam menentukan langkah yang terbaik untuk mencapai tujuan hidupnya; Mengambil keputusan dan langkah-langkah yang berlawanan dari yang dia sukai atau dia inginkan. Atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa dia harus mengambil langkah yang bertentangan dengan apa yang dianggapnya sebagai kesenangan. Dibutuhkan disiplin dan kontrol diri untuk memampukan diri dia sendiri mengendalikan dan mengarahkan dirinya pada tujuan dan keinginan hidupnya yang kadang kala tidak baik atau benar atau bernilai.

Dalam proses mendisiplinkan diri sendiri, seringkali yang menjadi penghambat bagi seseorang untuk berkomitmen penuh pada sebuah tujuan bukanlah tingkatan atau bentuk motivasi yang dia miliki, namun lebih kepada pola pikir yang mendasari sifat dan perilaku yang melawan komitmennya. Banyak orang berpikir bahwa keberhasilan itu adalah kasus tertentu karena orang lain memiliki tingkat disiplin atau motivasi yang jauh lebih besar daripada dirinya. Hal itu sama sekali tidak benar, terlepas dari pengertian tentang bakat dan talenta.

Hard work beats talents if talents do not work hard.

Terjemahan: Kerja keras mengalahkan bakat, jika bakat tidak dikerjakan dengan keras.

Sebagai ilustrasi:
Banyak orang ingin menjadi juara kelas, namun tidak mau melakukan apa yang dilakukan oleh seorang juara kelas. Banyak pula orang yang mau menjadi pintar, namun tidak mau mengorbankan waktu bermainnya untuk membaca banyak buku. Sementara yang lain hanya memiliki motivasi untuk menjadi sehat namun menolak untuk mengekang seleranya terhadap makanan yang tidak sehat. Dan banyak sekali orang ingin menjadi berhasil dalam pekerjaannya, namun tidak mau bekerja keras dan bersusah payah.

Sebenarnya mereka yang memiliki atau berhasil menciptakan kebiasaan yang mendukung suatu idealisme atau tujuan tertentu dengan hidup mereka tidak memiliki kekhususan atau kelebihan dalam kemampuan disiplin atau kontrol diri atau pun motivasi diri yang lebih besar. Mereka bukan orang-orang yang sempurna dan tidak pernah tersandung atau gagal. Mereka tidak selalu konsisten seperti yang sering diperkirakan oleh banyak orang. Kedisiplinan mereka juga pernah gagal dan perilaku mereka terkadang kendor dan tidak sejalan dengan tujuan hidup dan idealisme mereka.

Sang juara kelas tidak selalu berada di depan buku dan belajar. Orang yang pintar tidak selamanya membaca buku dan tidak tahu akan dunia luar. Orang yang hidup sehat tidak berarti tidak mau atau tidak bisa atau tidak pernah menikmati makanan yang dia sukai. Dan stereotype yang umum namun keliru adalah bahwa orang pintar adalah kutu buku, berkacamata tebal, fisik yang lemah, dan tidak pandai bersosialisasi. Padahal Neils Bohr dan Philip Baker adalah pemegang hadiah Nobel yang juga adalah olah ragawan yang ikut dalam Olympic. Dalam filsafat pendidikan Yunani kuno pun faktor fisik telah menjadi perhatian.

Keberhasilan mereka dibandingkan dengan kegagalan semua yang lain ada pada satu kualitas mental dan pola pikir dalam diri mereka yang lebih konsisten, yaitu bahwa mereka secara disiplin dan konsisten melawan diri dan keinginan yang bertentangan dengan idealisme mereka. Dalam diri mereka terdapat pengertian bahwa musuh terbesar mereka bukanlah hal-hal yang diluar, melainkan diri mereka sendiri.

Mereka tidak melihat fenomena di sekitar mereka sebagai permasalahan, namun sebagai tantangan yang harus diselesaikan dan dilalui. Mereka mendahulukan rasionalitas dan logika mereka dan mengabaikan keinginan hati mereka, memikirkan arah dan tindakan yang harus mereka lakukan untuk melampaui tantangan yang mereka hadapi. Mereka tidak dengan mudah mencari alasan untuk pembenaran diri atas sebuah kelalaian atau kegagalan, sebaliknya mereka mengambil tanggung jawab penuh dalam tiap kesalahan yang mereka perbuat dan belajar dari kesalahan itu, memastikan bahwa kesalahan yang sama tidak boleh terulang. Mereka mendidik diri mereka dengan keras, dengan idealisme yang tinggi namun bertindak secara pragmatis.

Bukannya bersikap kasar dan menghajar tanpa belas kasihan terhadap diri sendiri, mereka dengan tegas dan keras mendidik diri dan mencari solusi untuk memperbaiki cara mereka menghadapi situasi yang sama di lain waktu.

Ketika seseorang terlambat bangun saat hari-hari bekerja, bukannya bangun dan kemudian marah-marah pada dirinya sendiri, dia mencari solusi terhadap kegagalannya hari itu. Dia berjanji akan memaksa dirinya dengan lebih keras untuk tidur lebih awal di lain waktu.
Yang celaka adalah dia yang terlambat bangun kemudian marah pada orang disekitarnya. Orang seperti itulah yang tidak akan pernah menjadi manusia yang lebih berkualitas baik.

Itulah yang dikerjakan oleh orang-orang yang ‘sukses’ dalam hidupnya. Mereka dengan sadar penuh akan tanggung jawab mereka terhadap diri mereka dan secara konsisten terus menerus memikirkan cara untuk menjalani hidup mereka dengan lebih baik dalam segala hal. Itu adalah mentalitas, bukan perilaku yang hanya di permukaan. Setiap kegagalan adalah tantangan baru yang harus mereka pelajari agar lain waktu bisa mereka hadapi dengan lebih baik. Orang-orang seperti itu memiliki banyak skenario dan pola pikir di dalam kepalanya tentang bagaimana menghadapi segala situasi berdasarkan kekayaan pengalaman hidup mereka. Mereka adalah orang-orang yang akan semakin lama semakin jarang merasa menyesali tindakan mereka, mental mereka terus diperbaharui oleh pembaruan akal budi mereka.

Discipline is doing what you know needs to be done. Even when you don’t want to do it.

Terjemahan: Disiplin adalah melakukan hal yang kita tahu harus dikerjakan. Bahkan ketika kita tidak ingin melakukannya.

Hukum Kausalitas Dalam Sosiologi dan Psikologi

Kausalitas adalah satu bentuk relasi yang menghubungkan sebuah peristiwa dengan peristiwa berikutnya. Relasi itu memberikan sebuah gambaran tentang peristiwa yang menjadi penyebab dan peristiwa yang menjadi akibat, dimana peristiwa yang pertama dimengerti sebagai penyebab dari peristiwa kedua. Demikian pula sebagai konsekwensinya, peristiwa yang pertama tersebut juga adalah merupakan hasil akibat dari peristiwa yang terjadi sebelumnya.

Berdasarkan hukum yang dipahami dan disetujui secara luas ini, ditarik sebuah pengertian bahwa dalam alam semesta ini, segala sesuatu terjadi karena ada penyebabnya. Dan segala sesuatu ada karena ada inisiatornya. Inisiator tersebut dapat berupa berbagai macam faktor dan hasilnya adalah merupakan sebuah fenomena yang menjadi akibat dari inisiatif oleh inisiator.

Hukum kausalitas harus diakui oleh berbagai bidang, mulai dari filsafat yang bisa ditelusuri bahkan sampai pada Aristotle, sosiologi, psikologi, hingga sains dan seluruh pelosok konsep dan pemikiran yang mungkin dipikirkan manusia. Hukum inilah yang membuat segala sesuatu bisa memiliki kemungkinan untuk diprediksi dan memiliki konsistensi. Bisa kita bayangkan jika hukum ini tidak ada dalam dunia kita, maka tidak akan ada pola tertentu di dalam alam semesta yang bisa mungkin kita pelajari karena semuanya akan kacau balau.

Hukum sebab akibat – tabur tuai

You reap what you sow

Terjemahan: Kamu menuai apa yang kamu tabur

Secara universal, hukum kausalitas membentuk pengertian tentang determinisme bahwa ada satu hukum timbal balik yang berlaku secara umum dalam kehidupan manusia dan segala sesuatu yang relevan dengannya. Secara deterministik, kita menuai apa yang kita tabur, segala yang kita perbuat akan kembali pada kita pada akhirnya, semua yang kita kerjakan akan berbalik pada kita. Semua yang kita mengerti mengenai prinsip karma dan perbuatan jahat/baik adalah berdasar pada pengertian hukum kausalitas.

Karena semua orang mengejar kenikmatan dan kenyamanan, hukum ini baik secara langsung maupun tidak langsung memaksa orang untuk berbuat baik, karena dia mengerti bahwa dia tidak akan dapat lari dari pembalasan dan imbalan atau hukuman dan pahala dari pekerjaan tangannya. Hukum ini menjadi kengerian bagi mereka yang berbuat jahat dan merupakan penghiburan bagi mereka yang berbuat baik. Konsistensi, kemutlakkan, dan kekakuan keberadaan hukum kausalitas dalam segala sesuatu yang bergerak di dalam ruang dan waktu ini menjadi motivator tersendiri dalam kehidupan setiap diri manusia. Manusia terdorong dan termotivasi (baca: terpaksa dengan sukarela) untuk berbuat baik.

Resiprokal determinisme

Dalam hubungan antar manusia, ide tentang keberadaan resiprokal determinsme ini dicetuskan oleh Albert Bandura. Resiprokal determinisme menjelaskan tentang keberadaan hubungan timbal balik atau sebab akibat yang membentuk perilaku dalam teori pembelajaran sosial (yang merupakan dasar teori yang lebih tajam yaitu teori sosial kognitif). Timbal balik dalam proses pertumbuhkembangan seseorang terhadap lingkungan sekitarnya membentuk perilaku dan cara berpikir seseorang.

Secara sederhana, perkembangan manusia sejak kecil adalah merupakan proses pembelajaran dan penyesuaian antara dirinya dengan lingkungan sosialnya. Karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, dia terdorong untuk mendapatkan penerimaan atau persetujuan dari lingkungannya. Hal itu memaksa (baca: mendorong) seseorang untuk memunculkan perilaku tertentu yang disetujui oleh lingkungan tempat dia ingin diterima.

Sebagai contoh sederhana, seseorang yang ingin diterima kedalam sebuah perkumpulan, akan mulai mengadopsi identitas dari perkumpulan tersebut. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, sikap, tingkah dan perilaku, dan seterusnya, supaya dia bisa diterima dengan baik, bisa masuk kedalam kelompok tersebut.

Hal ini yang memunculkan kutipan peribahasa Cina yang berbunyi, “Kumpul dengan merah, jadi merah. Kumpul dengan warna hitam, jadi hitam.” Juga kalimat lain, “Kamu akan menjadi seperti lima orang teman yang paling dekat dengamu.” Serta, “Katakan padaku siapa teman-temanmu, maka akan kukatakan padamu siapa dirimu sebenarnya.”

Maksud dari semua kalimat itu adalah sama, yaitu setiap orang dipengaruhi lingkungannya. Memang benar, lingkungan akan sangat mempengaruhi seseorang, akan tetapi adalah benar pula bahwa setiap orang bisa dan boleh memiliki kemungkinan untuk memilih lingkungannya sendiri. Setiap orang diharapkan mampu bertumbuh seturut dengan pembaharuan pikiran dan akal budinya; memunculkan potensi untuk mengerti apa yang baik, apa yang benar, dan apa yang bernilai. Hal itu akan membuat dia memilih lingkungan yang dapat menerima dan mengakomodasi pertumbuhkembangan dirinya.
Sehingga adalah kekeliruan besar jika seseorang yang sudah beranjak dewasa dan memiliki pengertian terus menerus menyalahkan lingkungannya. Perilaku sedemikian adalah perbuatan yang merendahkan dirinya sendiri dan menghina kedewasaan diri.

Hak dan tanggung jawab

Topik bahasan lain yang tidak kalah menarik tentang hubungan sebab akibat dalam masyarakat manusia adalah tentang hak dan kewajiban. Manusia selalu ribut tentang hak dia sebagai manusia, dan hampir selalu lupa bahwa selalu ada kewajiban dan tanggung jawab yang berhubungan langsung secara timbal balik dengan hak tersebut.

Pergunjingan masalah hak dan tanggung jawab ini terus menerus tarik menarik sejak seorang anak kecil mulai memiliki kesadaran. Dan masalah ini semakin dibuat rumit oleh ketidakmengertian orang tua dalam memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Ketidakmengertian orang tua, membuat kesalahpengertian anak dalam pertumbuhannya sehingga anak itu pun akan bertumbuh dalam pengertian yang salah tentang hak dan kewajiban di dalam hidupnya. Demikianlah tatanan lingkungan dan masyarakat dirusak dengan perasaan ketidakadilan yang kadang tidak pada tempatnya. Banyak orang kemudian merasa dirinya selalu menjadi korban ketidakadilan dari hak mereka. Padahal tidak selalu demikian adanya.

Kebanyakan (jika tidak semua) orang baru ribut tentang hak ketika dia merasa dirinya tidak mendapat apa yang menjadi haknya. Dia tidak banyak ribut ketika hak orang lain diambil, apalagi jika yang mengambil hak orang lain adalah dirinya. Demikian pula dengan setiap orang lain, meributkan haknya sendiri-sendiri, tapi seringkali lupa dengan tanggung jawabnya.

Mau gaji naik setiap tahun, tapi pekerjaan dan ketrampilan tidak memenuhi syarat. Mau mendapat nilai bagus di sekolah, tapi tidak mau belajar. Mau hidup berkecukupan, tapi tidak mau berjuang. Memiliki cita-cita setinggi langit, tapi tidak mau berusaha bangun dari tidur dan mulai bekerja. Dan yang lebih buruk lagi adalah kemudian menyalahkan semua hal dan semua orang yang disekitar dia kecuali dirinya sendiri.

Hak selalu harus diberikan lebih rendah daripada tanggung jawab. Kenapa harus lebih rendah? Karena manusia selalu men-over-estimasi kemampuan dirinya sendiri, menilai dirinya sendiri lebih tinggi dari yang seharusnya. Jika dia menilai dirinya tinggi, lakukanlah pekerjaan yang tinggi, kualitas yang tinggi, maka hak akan menyusul naik seturut dengan kemampuan, kewajiban, dan tanggung jawab yang berani dia pikul. Jangan hanya meributkan hak, tapi terlebih penting lagi, ributkanlah kewajiban dan tanggung jawab.

Banyak orang, belum mulai bekerja, sudah minta gaji tinggi, tunjangan ini dan itu. Belum menunjukkan diri bisa apa, kualitas kerja setinggi apa, dedikasi sebesar apa, etos kerja seperti apa, sudah menilai diri tinggi sekali.
Dunia olah raga sangat mengenal keseimbangan hak dan kewajiban. Dalam pertandingan lari, semua orang berlatih dahulu, berusaha dahulu, berjuang dahulu, seorang lebih keras daripada yang lain. Apakah kemudian pada saat pertandingan, yang merasa sudah berlatih lebih keras selalu bisa mengalahkan orang lain? Tidak tentu. Dia boleh saja merasa bahwa dia adalah orang tercepat karena merasa punya hak untuk mendapat medali emas, tapi dia harus menunjukkan dulu hasil latihannya, disiplinnya, usahanya, dan berlari sekuat tenaga. Yang mendapat medali emas adalah yang memasuki garis finish pertama. Setelah dia membuktikan diri, baru dia mendapat medali. Itulah ilustrasi yang paling bisa menggambarkan hak dan kewajiban.

Hak selalu menyusul setelah kewajiban. Kewajiban harus selangkah lebih maju daripada hak. Hak harus selalu lebih rendah daripada kewajiban.

Dihormati dan menghormati

Satu hal lagi yang sangat mempengaruhi relasi antar manusia, yaitu tentang kehormatan. Manusia manapun selalu sangat peka ketika kehormatannya diganggu. Seperti halnya hak. Semua manusia ingin dihargai, dan untuk itu dia seringkali berani membayar mahal untuk membeli kehormatan. Menempelkan berbagai macam benda pada dirinya untuk menaikkan nilainya dihadapan orang lain.

Hal itu adalah sesuatu yang sia-sia dan semu. Karena suatu ketika, dia harus menanggalkan semuanya dan saat itu orang akan menilai segala hal yang tidak bisa dia beli, yaitu nilai kehidupannya. Entah sampai kapan orang akan mengerti bahwa segala sesuatu yang terpenting tidak bisa dibeli dengan uang; Dan segala sesuatu yang memiliki nilai paling tinggi tidak pernah bisa dilihat dengan mata jasmani.

Alam sudah memberi contoh jelas: udara. Tidak bisa dibeli dengan harga berapapun dan tidak kelihatan. Tapi tidak pernah orang berpikir bahwa udara tidak penting dan tidak ada nilainya karena tidak bisa dilihat.

Ada tiga hal besar yang sangat penting dan tidak bisa dibeli dengan apapun dan hanya bisa diperoleh dengan cara memberikannya terlebih dahulu pada orang lain: Kasih, Kehormatan, dan Kepercayaan. Ketiganya memiliki sifat yang sama dan berlaku hukum timbal balik dan sebab akibat.

Agar dihormati orang lain, hormatilah orang lain. Dan jadilah orang yang layak untuk dihormati.
Agar dikasihi orang lain, kasihilah orang lain. Dan jadilah orang yang layak untuk dikasihi.
Agar dipercaya orang lain, percayalah orang lain. Dan jadilah orang yang layak untuk dipercaya.

Tidak ada jalan lain. Seringkali orang hanya bisa menuntut orang lain untuk menghormati dia, tapi dia memunculkan perilaku yang tidak layak dihormati. Dia hanya merasa ber-‘HAK’ untuk dihormati.

The Golden Rule dan Etika Kristen

Hukum yang selalu disebut sebagai hukum etika dan moral tentang hubungan manusia yang tertinggi adalah hukum kasih. Istilah Golden Rule sendiri muncul sekitar pertengahan abad ke-17 dengan konsepnya yang membicarakan tentang etika yang bersifat timbal balik (istilah asli: the ethic of reciprocity).

Di dunia sebelah barat, kebudayaan kuno Babilon dalam Hukum Hammurabi (Lex Talionis) menyatakan, “Mata ganti mata, gigi ganti gigi.” Etika yang lebih bersifat hukuman ini menyatakan hukuman yang setimpal dengan perbuatan. Demikan pula dengan filsuf Yunani kuno yang mengatakan hubungan sebab akibat dalam relasi antar manusia, “Jangan lakukan hal yang akan kamu persalahkan jika dilakukan oleh orang lain – Thales.” Isocrates mengatakan pula, “Jangan lakukan pada orang lain hal yang akan membuatmu marah kalau mereka melakukannya padamu.”

Kalimat dalam dunia filsafat timur pun tidak berbeda jauh dengan kalimat dunia filsafat barat. Confusius mengatakan, “Jangan lakukan pada orang lain hal yang kamu tidak ingin orang lakukan padamu.” Dan Laozi, “Anggaplah keuntungan tetanggamu seperti keuntunganmu, dan kerugian mereka seperti kerugianmu.”

Persamaan semua kalimat itu adalah sifat kalimat pasif: jangan lakukan pada orang lain.
The Golden Rule itu sendiri mengatakan, “Perbuatlah kepada orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan – Yesus.” Ini merupakan etika yang lebih tinggi: perbuatlah dan lakukanlah pada orang lain.

Jika seseorang tidak suka ditipu, jangan menipu orang lain. Itu adalah implikasi kalimat negatif. Sedangkan implikasi kalimat positif adalah, jujurlah pada orang lain kalau kamu ingin orang lain jujur padamu.
Jika seseorang tidak ingin difitnah, jangan memfitnah orang lain. Itu kalimat negatif. Implikasi kalimat positifnya adalah, berkata-katalah denga benar tentang orang lain. Yang pertama adalah jangan berbicara, yang terakhir adalah berbicaralah, tapi yang benar.

Dalam Golden Rule dan etika Kristen, muncul sebuah kalimat lagi yang sangat penting dan menjadi hukum kasih, “Kasihilah sesamamu seperti kamu mengasihi dirimu sendiri – Yesus.” Mudah diucapkan, sangat agung, dan sangat sulit untuk dikerjakan. Lebih mudah untuk menjadi pasif dan tidak membenci sesamamu manusia, tapi untuk menjadi aktif dan mengasihi, membuat saya terus bertanya-tanya, siapa yang sanggup mengerjakan perbuatan baik yang memiliki etika dengan standard yang begitu tinggi.

Paradigma Tentang Sukses

Sepanjang sejarah, orang bijak dan orang kaya telah menyerukan bahwa uang tidak mendatangkan kebahagiaan. Dan sejak jaman kapitalisme, dunia terus menyerukan bahwa uang adalah sumber kebahagiaan dengan satu asumsi utama, yaitu ketika kita bisa mendapatkan semua yang kita mau, kita akan bahagia.

Satu kali lagi, mari kita coba bahas secara sederhana pernyataan-pernyataan dalam beberapa pemikiran tentang uang. Dan sekali lagi, ketika kita berbicara tentang manusia dan materi, ada dua dasar pemikiran yang utama: yang pertama adalah bahwa manusia sangat mencintai dirinya sendiri. Yang kedua adalah manusia berusaha menyenangkan dirinya dengan segala yang bisa disebutnya sebagai kepunyaannya (baca: materi) untuk memuaskan keinginannya.
Yang pertama tadi adalah humanisme, sementara yang terakhir adalah materialisme.

Dari sinilah kemudian perjalanan hidup manusia dimulai dalam pemikirannya. Sejak ketika seorang manusia kecil hidup, dia memiliki keinginan. Mula-mula adalah kebutuhan yang menunjang dia untuk hidup, makanan, minuman, keamanan, perlindungan, perawatan, perhatian, dan seterusnya. Hal itu tidak pernah berubah seumur hidupnya selama dia hidup seolah-olah hal itu telah terprogram dalam segala keseluruhan aspek hidupnya. Hal-hal itu bertransformasi menjadi semakin kompleks dalam perjalanan hidupnya seperti lipatan kertas kecil yang kemudian terbuka satu per satu menjadi lembaran kertas yang semakin besar. Tidak ada seorang manusia pun bisa lari dari keinginan-keinginan dalam dirinya untuk memuaskan rasa cintanya pada dirinya dan pada material.

Ada satu lubang di dalam hidup manusia yang kosong yang tidak dapat di penuhi oleh apapun yang berada dalam dunia ini. Kapankah manusia pernah merasa cukup? Manusia selalu berada dalam pencarian seumur hidupnya untuk mengisi kekosongan dalam hidupnya, dan dia mencarinya di dalam semua hal yang dapat dilihatnya. Dia selalu hidup dalam angan-angan bahwa jika dia berhasil mendapatkan yang dia inginkan, dia akan suatu hari ketika dapat dipuaskan. Tapi sejarah telah membuktikan hal itu tidak pernah tercapai.

Untuk bisa mengerti dan memahami apa itu yang disebut dengan SUKSES, kita harus memulai dulu dengan definisi SUKSES. Sukses memiliki arti mencapai tujuan atau garis finish, tepat pada sasaran dan target. Ketika seorang pemanah atau penembak jitu berhasil mengenai sasarannya, itulah sukses. Pemanah yang melampaui sasarannya tidak dikatakan lebih hebat atau lebih kuat daripada yang mengenai sasaran, dia tidak akan merasa bangga dan berkata, “Aku telah melampaui sasaranku.” Seorang pelari yang berlari terus setelah mencapai garis finish, apakah akan dikatakan lebih hebat dari orang mencapai garis finish dan kemudian berhenti? Mungkin. Tapi tetap tidak akan dianggap lebih juara daripada yang berhenti setelah mencapai garis finish.
Sukses adalah suatu titik dimana seseorang boleh kemudian berhenti dan merasa puas karena sudah mencapai suatu keberhasilan tentang sesuatu.

Tapi kata SUKSES seringkali tidak menggambarkan semua hal tersebut. Setiap kali kata sukses terdengar, seringkali yang pertama kali muncul dalam benak kita adalah segala hal yang sifatnya materialisme dan humanisme. Seringkali pula kata itu tidak menggambarkan sebuah perhentian dan kepuasan, melainkan sebuah tantangan baru untuk mendapatkan lebih dan lebih lagi, untuk mengisi kekosongan dalam hidup manusia yang tidak pernah bisa dipenuhi dengan apapun. Kesuksesan demi kesuksesan terus berusaha dikejar seperti sebuah garis finish semu yang tidak pernah berakhir seperti layaknya sebuah fatamorgana. Tidak ada perhentian, seperti seekor hamster yang berlari dalam rodanya.

Setiap orang memiliki bayang-bayangnya sendiri, fatamorgana yang hanya menjadi miliknya sendiri, sebuah idealisme yang dipercaya bahwa jika dia berhasil meraihnya, dia akan bahagia. Sebagian orang mendapat kesempatan untuk mencicipi, sebagian kecil mendapat kesempatan untuk menikmati, sisanya tidak mendapat kesempatan sama sekali seumur hidupnya untuk meraih idealisme yang humanis/materialis itu. Tapi satu hal yang pasti, semua idealisme yang katanya, diyakini bisa memberikan kepuasan dan kebahagiaan dan perhentian, ternyata adalah omong kosong.

Mereka yang sudah katanya sudah sukses, tidak mendapatkan kebahagiaan dan perhentian. Mereka yang belum mencapainya, terus melakukan segala hal yang mereka pikir dapat membawa mereka kepada kebahagiaan dan perhentian. Mereka yang masih terus berusaha dan masih mencari kebahagiaan dan perhentian, membuktikan bahwa mereka masih belum sukses.

Sebagian besar kita telah mendengar berbagai kalimat yang mengatakan bahwa humanisme/materialisme tidak mendatangkan kebahagiaan. Bahwa uang tidak mendatangkan kebahagiaan. Akan saya kutip beberapa diantaranya:

Money never made a man happy yet, nor will it. The more a man has, the more he wants. Instead of filling a vacuum, it makes one. – Benjamin Franklin
(Uang tidak akan pernah dapat membuat orang bahagia. Semakin banyak uang yang dimiliki seseorang, bukannya mengisi kekosongan, uang malah akan membuat kekosongan baru.)

We make a living by what we get, but we make a life by what we give. – Winston Churchill
(Kita menikmati hidup melalui yang kita dapat, tapi kita menikmati kehidupan melalui yang kita berikan.)

Wealth consists not in having great possessions, but in having few wants. – Epictetus
(Kekayaan tidak berarti memiliki banyak hal, akan tetapi memiliki sedikit keinginan.)

It is not the man who has too little, but the man who craves more, that is poor. – Seneca
(Kemiskinan bukanlah tentang orang yang memiliki sedikit, melainkan tentang orang yang menginginkan lebih.)

Masih ada puluhan yang bisa mungkin ditulis, tapi tidak akan ada gunanya, semuanya mengatakan hal yang sama. Bahwa uang bukan yang terpenting. Semua yang terpenting dalam hidup manusia tidak bisa dibeli dengan uang. Sepanjang sejarah, orang bijak dan orang kaya telah mengatakan hal tersebut. Tapi tetap saja istilah sukses tidak berubah.

Ilustrasi kecil yang saya sukai adalah tentang gaji atau penghasilan:
Orang yang mendapat gaji dua juta sebulan, merasa tidak cukup. Dia yakin jika nanti mendapat gaji empat juta sebulan, hidupnya akan lebih enak dan dia akan mulai bisa menabung.
Setelah dia mendapat gaji empat juta, tetap tidak cukup, karenanya dia kemudian merasa kalau nanti sudah dapat gaji delapan juta, dia akan bisa hidup lebih enak dan akan bisa mulai menabung.
Kemudian gajinya naik menjadi delapan juta, tetap saja belum bisa menabung karena satu dan lain hal. Dia berpikir, jika nanti dapat enam belas juta, hidupnya akan berubah dan dia akan mulai menabung.
Benar pula, gajinya menjadi enam belas juta, dia mulai mencicil mobil, berpikir untuk mengontrak rumah, dan gajinya tidak cukup. Dia kembali berpikir, seandainya gajinya menjadi tiga puluh dua juta, pasti dia akan tenang dan bahagia.
Kemudian dia mendapat gaji tiga puluh dua juta sebulan, dan sekarang dia ingin memiliki rumah sendiri dan mobil yang lebih baik. Orang-orang melihat dia sudah cukup sukses. Tapi dia tetap merasa kurang sukses. Sementara orang lain memimpikan hal yang sama, “seandainya aku mendapat gaji setengahnya saja, tentu aku akan bahagia.”

Ketika seseorang mengatakan, “seandainya penghasilanku lima puluh juta sebulan, aku pasti bahagia dan berkecukupan.” Hal itu hanya menyatakan bahwa dia tidak punya gaji sebesar itu. Ketika seseorang mengatakan bahwa jika dia memiliki sesuatu, maka dia berarti sudah sukses; Itu hanya membuktikan bahwa dia tidak memiliki hal itu. Lagi pula, seringkali orang mencampuradukkan antara kebahagiaan dengan kekayaan atau kecukupan atau harta atau kepuasan diri atau nafsu diri atau ambisi. Padahal seharusnya tidak ada hubungan antara kebahagiaan dengan memiliki semua hal yang mampu diinginkan seseorang. Paling tidak, tidak ada hubungan langsung yang setara antara kebahagiaan dengan pemuasan keinginan. Justru sebaliknya, seperti halnya paradoks kebebasan, seseorang menjadi berkecukupan dan puas dan menjadi bahagia ketika dia menahan dirinya dari banyak keinginan.

Dalam hidup manusia, apakah yang disebut sebagai sukses? Dimanakah letak kesuksesan manusia? Dimanakah letak titik dimana dia boleh mendapat perhentian dan merasa puas?
Apakah ketika dia menjadi kaya? Ketika memiliki banyak uang? Ketika ada orang yang mengakui bahwa dia sudah sukses? Ketika ada orang yang iri pada dirinya? Ketika menjadi orang yang bisa membeli apa pun yang dia mau?

Tentu saja titik itu seharusnya berada di titik akhir kehidupan manusia, garis finish nafas manusia. Bagaimana seseorang menjalani hidupnya secara totalitas dan keseluruhan dan kemudian di akhir hidupnya, dia bisa merasa puas dan mendapat ketenangan.
Kehidupan manusia sama seperti pelari, apakah selama dia berlari tidak pernah merasa lelah? Apakah tidak pernah terjatuh? Apakah tidak pernah merasa putus nafas? Apakah dia tidak secara sadar merubah kecepatan larinya menyesuaikan dengan tantangan medan dan fisik yang berubah selama dia berlari? Demikian pula manusia dalam hidupnya. Ada jatuh bangun, kelemahan dan kegagalan, berbagai pergumulan secara fisik dan mental dalam upayanya mencapai garis finish.

Kesuksesan manusia tidak ditentukan oleh dirinya sendiri. Manusia tidak bisa dan tidak boleh menilai dirinya sendiri, segala penilaian tentang seseorang harus berasal dari luar dirinya sendiri. Jadi pada akhirnya, siapakah yang menentukan kesuksesan seseorang?

Ada cerita dalam sebuah pemakaman orang yang kaya dan dermawan. Pemakaman itu dihadiri oleh banyak orang, dan beberapa orang membagikan kisah tentang bagaimana orang yang kaya ini selama hidupnya.
“Bapak inilah yang mendirikan yayasan besar yang memberikan bantuan berupa operasi katarak gratis bagi ratusan orang tua setiap tahunnya.”
“Bapak ini selama hidupnya tidak pelit dengan kekayaannya dan memberikan banyak sumbangan pada rumah yatim piatu.”
“Banyak sumbangan telah diberikan bapak ini kepada pembangunan rumah ibadah, tidak hanya di wilayahnya, melainkan di banyak daerah di berbagai kepulauan dan desa terpencil.”
Dan hingga giliran anggota keluarganya, anaknya yang paling besar berkata, “Semua yang kalian katakan tentang bapak saya, sama sekali tidak saya mengerti. Dia tidak pernah berada di rumah, ibu saya terus menangis karena dia memiliki simpanan di kota lain. Perusahaan kontraktor miliknya melakukan pembangunan dimana-mana dan mencuri spesifikasi sehingga beberapa kali saya hampir dijebloskan kedalam penjara karena saya adalah wakil direktur dari ayah saya. Saya membenci ayah saya.”

Apakah bapak dermawan tadi adalah orang yang baik ataukah orang yang jahat? Apakah dia bisa dikatakan sukses? Jika bisa dikatakan sukses, apakah target yang sudah dia capai dalam hidupnya? Siapa yang berhak mengatakan bahwa dia sudah sukses mencapai garis finish, jika dia sendiri tidak tahu apa yang harus dikerjakan dalam hidupnya?
Demikian pula dengan semua manusia. Apakah sukses itu sebenarnya?
Pemanah, pelari, penembak jitu, memiliki target. Apakah ‘target’ dari hidup manusia? Sementara umur manusia pun tidak berada ditangannya sendiri. Garis finish tiap manusia tidak ditentukan sendiri oleh masing-masing manusia. Jadi dari mana bisa muncul definisi ‘SUKSES’?

Tidak ada jawaban yang bisa ditawarkan dalam dunia ini, oleh filsafat sekalipun. Tidak ada kemungkinan selain dari jika seseorang memahami hukum relasi pencipta-ciptaan.
Dalam hukum itu barulah akan ditemukan pemahaman tentang tujuan hidup manusia. Di dalam pengertian tentang tujuan hidup manusia, akan ditemukan alasan untuk apa dia hidup dan apa yang harus dikerjakannya dalam hidup ini. Kemudian pada akhirnya, barulah bisa ditentukan apakah dia sudah bisa dikatakan SUKSES dalam hidupnya atau tidak.

Terlalu banyak orang yang membuang seluruh hidupnya, belajar dan bekerja, untuk sesuatu yang bernilai kecil atau bahkan tidak bernilai. Itu disebabkan karena kesalahan konsep nilai dalam hidup manusia. Manusia sebenarnya tidak tahu untuk apa dia hidup.

The real measure of your wealth is how much you’d be worth if you lost all your money.

Terjemahan: Ukuran kekayaan bukanlah berapa banyak hartamu, melainkan seberapa tinggi orang lain menilai dirimu ketika kamu kehilangan semua uangmu.

Peran Penting Pendidikan Dalam Keluarga

Pendidikan anak selalu menjadi hal yang penting dalam banyak keluarga. Tidak hanya hal yang berkenaan dengan sekolah ataupun pendidikan formal saja, melainkan pendidikan seorang anak sebagai anggota keluarga, aturan moral, sosial, disiplin, dan banyak hal lain yang perlu diajarkan kepada seorang anak.

Sadarkah para orang tua, bahwa pendidikan yang terpenting untuk seorang anak bukanlah pendidikan formal. Melainkan pendidikan moral, ketrampilan sosial, dan yang terutama, adalah pendidikan spiritual. Dengan apakah kelakuan seseorang dijaga? Tidak lain adalah dengan takut akan Tuhan (menurut buku Kristen yang saya baca). Seseorang dapat dibekali dengan segala pengertian moral yang tertinggi, etika teragung, filsafat terbaik, ketrampilan sosial dan kesopanan yang paling beradab, namun tanpa kegentaran pada Tuhan, langkahnya akan jauh dari kebenaran. Tanpa takut akan Tuhan, segala pengetahuan dan pengertian yang dia miliki hanya akan menjadi alat rasionalisasi untuk membentuk segala alasan pembenaran diri yang membungkam hati nuraninya terhadap keadilan dan kebenaran. Buktinya? Betapa banyak orang yang katanya beragama yang kemudian melakukan banyak hal yang sangat tercela tanpa merasa bersalah, semakin tinggi pendidikan, pengertian dan pengetahuan seseorang, semakin besar kerusakan yang dia buat dan semakin licin dia menipu dirinya dan semua orang disekitarnya.

Tidak berarti bahwa pengetahuan formal itu tidak penting. Tentu saja pengetahuan formal itu penting, akan tetapi janganlah sampai yang terpenting dikalahkan oleh yang penting. Disinilah letak pentingnya bijaksana. Dunia ini membutuhkan orang yang bijaksana, bukan orang yang pintar. Dan bijaksana adalah kebijakan yang dari ‘sana’, bukan dari ‘sini’.

Apakah gunanya memiliki segudang data yang menyusun informasi, yang menjadi dasar pengetahuan dan pengertian, jika tidak memilki bijaksana dengan moralitas yang baik. Pistol ditangan penegak hukum tidak terlihat membahayakan jika dibandingkan dengan pistol yang sama berada ditangan penjahat. Demikian pula dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal yang baik dan dapat digunakan untuk kemajuan peradaban, hal yang sama dapat dengan mudah diputarbalikkan dengan berbagai macam alasan dan rasionalisasi untuk mencelakakan manusia yang lain dan masyarakat.

Anak yang baik selalu bermula dari pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik selalu bermula dari keluarga yang baik. Keluarga yang baik selalu bermula dari orang tua yang baik, dan orang tua yang baik bermula dari kepala keluarga yang baik. Kepala keluarga yang baik selalu adalah pria yang dengan integritas baik yang memiliki peran yang tepat dan efektif sebagai suami bagi istrinya, dan ayah bagi anak-anaknya; Dan tidak ada suami dan ayah yang baik tanpa dukungan istri yang menjadi penolong yang sepadan bagi sang suami serta menjadi ibu yang penuh kasih bagi anak-anaknya. Pendidikan harus selalu mulai di dalam keluarga sebagai inti terkecil dalam masyarakat manusia. Begitu pendidikan dalam keluarga gagal, setiap manusia dalam keluarga itu mengambil peran dan berbagian dalam perusakan masyarakat.

Jika kita sering mendengar kalimat bahwa pengaruh lingkungan yang buruk memberikan dampak buruk bagi individu, maka siapakah ‘lingkungan’ itu selain daripada manusia yang muncul dari dalam setiap keluarga yang gagal. Seringkali kita dengan ringan dan mudah, mencetuskan pembelaan diri bahwa anak kita dirusak oleh lingkungan, bahwa suami kita dipengaruhi lingkungan, bahwa istri kita terbawa dalam lingkungan; maka kita harus kembali pada satu prinsip yang utama, jika keluarga memiliki moralitas yang baik, didikan yang baik, integritas yang baik, takut akan Tuhan, maka kita akan bisa yakin bahwa keluarga kita tidak akan berbagian dalam kerusakan ‘lingkungan’.
Dunia kita akan selalu rusak, dan semakin hari akan semakin rusak, dan tidak akan membaik. Dan mengunci diri kita secara sempit dalam paranoia dan ketakutan, menjauhkan diri dari dunia global karena ketakutan akan terpengaruh, memaksa diri hidup dalam gelembung dan rumah kaca yang terlindungi adalah tindakan yang bukan saja kurang bijaksana, melainkan juga kurang berakal sehat. Yang seharusnya dilakukan adalah membekali diri, dengan bijaksana yang tertinggi, integritas yang terbaik, moral yang agung, kemudian terjun ke dalam masyarakat luas, dan berbagian membentuk lingkungan supaya menjadi lebih baik. Bukannya hanya bisa menyalahkan lingkungan sementara kita menganggap lingkungan sebagai sumber kecelakaan kita.
TIdakkah setiap agama dan filsafat mengajarkan setiap manusia untuk menjadi berkat bagi lingkungan sekitar hingga ke seluruh dunia? Lalu apa yang mau kita capai dengan bergaul secara eksklusif untuk melindungi diri kita supaya katanya tidak tercemar dan hidup bagai katak dalam tempurung. Dan bukan hanya mengunci lingkungan secara ekslusif, kita mulai membenci semua orang yang tidak sama dengan kita, dalam fanatisme yang tidak berakal, kita mengumpulkan semua orang yang sama dengan kita dan membuat golongan sendiri yang katanya mau membuat masyarakat yang lebih baik. Hasil yang didapat bukan menjadi berkat, tapi membuat permusuhan dengan semua yang berbeda dengan kita, kemudian kita menjadi bagian dari ‘lingkungan’ yang merusak masyarakat.

Fenomena seperti inilah yang saya maksudkan ketika saya membicarakan tentang kebenaran yang sejati dalam paradoksnya. Semua pemikiran yang tidak sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran yang tidak benar-benar BENAR, memiliki kontradiksi di dalam dirinya sendiri yang tidak bersifat universal, melainkan sebuah kebenaran yang parsial yang tidak bisa berlaku secara integral. Kebenaran semu yang sedemikian akan merusak dirinya sendiri.

Sekarang telah terlihat betapa pentingnya peran keluarga dalam pendidikan manusia. Hal ini juga disadari oleh dunia psikologi dan filsafat, dunia pendidikan dan agama; bahwa seorang anak harus mendapatkan didikan pertama yang benar-benar BENAR dari figur otoritas pertama yang dia kenal. Yaitu dari ayahnya dan ibunya. Didikan pertama (yang dikenal dengan istilah FIRST DECREE) ini merupakan fase yang sangat penting, seperti ‘kesan pertama’ yang mula-mula kita dapatkan tentang seseorang akan membuat sebuah cetakan dan penilaian yang bisa mempengaruhi dinamika hubungan antar individu secara permanen. Kesan pertama yang keliru akan memberikan dampak negatif yang bertahan lama dan susah dirubah; demikian pula halnya dengan didikan pertama ini. Didikan yang pertama dan mula-mula inilah yang akan dibawa anak-anak sepanjang usianya. Sebagian keluarga yang cerdas dan kritis, akan membentuk pengertian dan pemahaman yang baik untuk anak-anaknya dan mewariskan nilai-nilai dengan pengertian dan pemahaman yang berdasar. Sementara keluarga yang lain akan membentuk pengertian dan pemahaman otoritatif dan berakhir dalam prinsip fanatisme yang membabibuta.

Terlepas dari berbagai metode dan pola pendidikan dalam keluarga, pentingnya first decree dalam usia 0 (nol) hingga 7 (tujuh) tahun ini sangat mempengaruhi pertumbuhkembangan anak-anak dalam sebuah keluarga. Anak-anak yang dididik oleh orang tuanya, dengan nilai yang ditanamkan oleh orang tuanya, akan lebih mempermudah proses pendidikan dan penanaman didikan di fase-fase berikutnya. Namun seringkali hal ini diabaikan oleh banyak orang tua, Mereka sering menganggap bahwa anak masih kecil, belum mengerti apa-apa, biarkan orang lain yang mendidik, nanti setelah mereka mulai lancar berbicara dan lebih besar, baru orang tua mulai menggantikan dan mulai mendidik. Hal ini sangat fatal.

Jangan pernah membiarkan anak dididik oleh orang lain selain oleh orang tuanya sendiri. Karena segala permasalahan dengan kepribadiannya di masa yang akan datang akan menjadi kesalahan dan penyesalan orang tua yang terbesar. Orang tua akan menjadi terheran-heran kenapa seorang anak susah diarahkan dalam pola hidup tertentu, kenapa seorang anak memunculkan perilaku tertentu, dan seterusnya; tanpa orang tua menyadari bahwa dia sudah melewatkan kesempatan untuk membangun dasar fondasi bagi bangunan hidup si anak. Tanpa mengenali fondasi yang diletakkan, bagaimana sebuah bangunan dapat didirikan.

Sekali lagi, ‘lingkungan’ yang disalahkan. Orang tua tidak pernah bersalah tampaknya.
Terutama jika orang tua sendiri mengalami kegagalan mengenali maksud dan tujuan keberadaan seorang anak diantarkan ke dalam dunia ini melalui rahim seorang ibu, dalam sebuah keluarga.
Seringkali, orang tua menganggap seorang anak sebagai penerus cita-cita, penerus ambisi, penerus keinginan orang tua. Anak adalah hiburan dan mainan dan kebanggaan di masa muda, asuransi di masa tua, perawat dan pembantu di hari tua, dan hanya itu. Seorang anak sudah dirawat dengan baik, dituntut balas jasanya di kemudian hari; padahal, jika seorang anak dibesarkan dengan keadilan dan kasih yang dijalankan dengan bijaksana, dan orang tua boleh menjadi teladan yang agung dan berintegritas baik serta memiliki hidup yang suci, tidak mungkin seorang anak dalam naturnya akan menyia-nyiakan orang tuanya hingga sampai perlu dituntut untuk membalas jasa orang tua yang telah membesarkan dia.

Namun seringkali, hal itu menjadi tema utama dan orang tua sangat ketakutan jika masa tuanya sendirian lemah tak berdaya dan tidak ada yang merawat dia; seringkali itu yang dijadikan permasalahan besar dan alasan utama dalam pertimbangan untuk memiliki anak. Seolah anak diciptakan oleh orang tua, menurut maksud dan tujuan orang tua, serta mengerjakan pekerjaan yang telah dipersiapkan oleh orang tua sejak sebelumnya. Dan orang tua menjadi tuhan atas diri anak.

“Children begin by loving their parents; as they grows old, they judge them. Sometimes, they forgive them.”  – Oscar Wilde

Terjemahan: Anak-anak selalu bermula dari mengasihi orang tuanya; dan ketika mereka beranjak dewasa, mereka mulai menilai orang tuanya. Kadang kala, mereka memaafkan orang tuanya.

Didikan dalam keluarga adalah hal yang paling susah, karena sebagai pendidik, orang tua dituntut secara konsisten memiliki perilaku yang sejalan dengan apa yang mereka ajarkan dan didikkan. Dan dengan segera, anak-anak akan melihat betapa kehidupan orang tuanya adalah omong kosong dan mereka mulai merasakan ketidakadilan dalam didikan orang tua. Perilaku orang tua yang sembarangan mendatangkan penghakiman bagi dirinya. Namun sebaliknya, orang tua yang hidup suci dan berintegritas akan mendapat penghargaan dalam diri anak, dan orang tua akan menjadi teladan dan idola.

Karena itu, didikan yang pertama dan terutama haruslah didikan moral, bukan ilmu pengetahuan. Didikan tentang etika dan nilai yang agung, bukan tentang materialisme. Didikan dan bekal tentang takut akan Tuhan, bukan menanamkan bibit eksklusifitas dan menarik diri dari ‘lingkungan’.

Buku Kristen dengan sangat singkat dan tajam merangkum isi tulisan ini sedemikian, didiklah anakmu takut akan Tuhan di jalan yang harus dia tempuh, maka seumur hidupnya dia tidak akan menyimpang dari jalan itu. Bekalilah dia dengan didikan dalam iman dan kebijaksaan yang akan muncul dalam pengertiannya karena takut akan Tuhan adalah awal dari segala pengetahuan. Maka hidupnya di dalam Kristus akan menjadi garam dan terang (menjadi berkat bagi) dunia, yang dengan bijaksananya memiliki hidup yang tidak seperti kehidupan dalam dunia ini.

Tentu saja setiap orang boleh memiliki pandangan yang lain dari/terhadap tiga kalimat tersebut.
Tentu saja saya tidak keberatan. Saya hanya kebetulan menemukan intisari itu dalam buku yang saya baca.

Paradoks Idealisme dan Pragmatisme Dalam Moralitas

Jurang pemisah yang terjadi antara apa yang ‘seharusnya’ dengan apa yang menjadi ‘kenyataannya’ telah lama menjadi topik dalam pemikiran para filsuf besar sejak jaman Yunani kuno hingga jaman modern. Tema besar mengenai ide dan kenyataan mencakup hal yang sedemikian luas dan berupaya membahas dalam dialog-dialog tentang apa yang didefinisikan sebagai yang ‘nyata’ dan apa yang didefinisikan sebagai ‘konsep’, hal-hal yang merupakan ‘kekacauan’ dan ‘keteraturan’ dalam skala kosmik. Pada jaman modern, David Hume adalah filsuf abad ke-18 dengan Filsafat Moral yang membahas secara khusus etika moralitas yang berkenaan dengan apa yang kenyataan dan apa yang seharusnya (Is-Ought Problem).

Dalam skala kecil, implikasi pemikiran yang sangat besar itu sangat berdampak dalam totalitasnya dengan cara kita menjalani hidup dalam keseharian. Kita menyadari bagaimana setiap manusia memiliki pikiran dan bayangan tentang bagaimana dunia yang seharusnya, dunia ide, yang dianggap sebagai dunia yang ideal. Juga tentang dunia yang lebih disadari dan sedang dihidupi, yang dijalani dalam keseharian, realita dan kenyataan yang ternyata tidak seperti yang diharapkan. Jelas keberadaan celah pemisah itu menimbulkan ketegangan-ketegangan tersendiri dalam diri manusia yang hidup. Beberapa orang memiliki celah yang lebih besar dibandingkan orang yang lain, namun tidak ada seorang pun yang memiliki hidup yang berjalan sama persis dengan yang dia bayangkan; dibuktikan dengan tidak ada seorangpun yang puas dengan kehidupan yang dijalaninya.

Professor Pitirim Sorokin, seorang sosiolog dari Harvard University mengatakan bahwa sepanjang sejarah umat manusia, manusia mendambakan masyarakat atau negara yang memilki keadilan dan kesejahteraan sebagai idealisme tertinggi. Namun hal itu tidak pernah tercapai.

Setiap manusia memiliki cita-cita, bayangan, ide, tentang apa yang dia harapkan dalam hidupnya. Itu adalah apa yang menjadi idealisme.

Setiap manusia menjalani kehidupan keseharian, yang seringkali dalam derajat yang tidak sama antara seorang dengan yang lain, berbeda dengan apa yang dia inginkan, rencanakan, atau harapkan. Itu adalah apa yang disebut sebagai dunia pragmatis. Kata pragmatis di sini berbeda dengan kata pragmatis dalam filsafat pragmatisme. Kata pragmatis disini adalah suatu sikap dalam menghadapi sesuatu secara realistis dan dengan menggunakan akal sehat yang lebih mengedepankan aspek praktis daripada aspek teoretis.

Sebagai gambaran, saya bangun di pagi hari ini dan melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 7:20; saya membuka agenda jadwal kegiatan. Jam 9 pagi, mengurus laporan transaksi di bank. Jam 10, ada pertemuan dengan klien. Jam 12 siang, makan siang bersama rekan kerja di kantor. Jam 13, memeriksa laporan bulanan untuk mempersiapkan meeting jam 14. Terlihat cukup teratur dan sangat masuk akal. Tidak ada jadwal yang berkejar-kejaran. Semua baik-baik saja ketika saya melihat jadwal itu.
Hingga saya menyadari bahwa jam dinding di kamar tidur saya mati sejak jam 7:20 semalam. Saya memeriksa jam tangan saya disebelah tempat tidur dan waktu sekarang menunjukkan pukul 8:32.
Saya sudah terlambat. Dan saya harus merubah seluruh idealisme dalam kepala saya mengenai apa yang akan saya kerjakan hari ini dan secara pragmatis menyusun prioritas kegiatan yang harus saya buang jika saya ingin hari ini berlangsung baik. Saya kemudian membatalkan makan siang untuk mengurus laporan transaksi, karena saya sudah terlambat untuk pergi ke bank. Saya tidak bisa membatalkan janji dengan klien dan jelas saya masih harus memeriksa laporan bulanan jika saya mau mengadakan meeting jam 14.

Itu adalah yang fungsional menurut saya. Tetapi mungkin menurut orang lain, dia akan menggeser jadwal ke bank ke keesokan harinya karena satu dan lain alasan. Atau mungkin bagi orang yang lain lagi, dia akan memaksakan diri untuk tetap pada idealismenya kemudian mengerjakan semua yang tertulis di agendanya hari itu dengan perasaan tertekan, menggerutu mengenai situasinya, menyalahkan jam dinding yang mati, berlarian kesana kemari sambil menerobos antrian bank, mengebut di jalan raya, dan seterusnya, supaya hari itu berjalan seturut dengan yang dia mau.

Itulah kehidupan praktis kita sehari-hari.

“Idealis” akan membuat manusia sangat tertekan, mendorong dan memaksa agar apa yang dia mau dapat tercapai, tidak perduli apa yang harus dia lakukan, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Idealisme akan membentuk ambisi dan dorongan yang menjadi motivasi yang kuat.
Namun ditengah-tengah kehidupan ini, begitu banyak hal dan hambatan bisa terjadi karena satu dan lain hal seperti yang digambarkan oleh Murphy’s Law (Murphy’s Law secara sederhana menyatakan bahwa “Anything that can go wrong, will go wrong.” – Terj: apapun yang memiliki potensi untuk bisa menjadi salah/tidak beres, akan berjalan secara salah dan tidak beres.) Orang yang ambisius mengejar idealisme mereka kemudian menyusahkan diri mereka dengan berbagai-bagai kesulitan yang tidak perlu, mengejar hal-hal yang mungkin tidak bernilai terlalu tinggi, namun menjadi sesuatu yang sangat mereka inginkan hingga mereka mau mengorbankan apapun juga, mulai dengan diri mereka sendiri, orang-orang sekitar, teman, hingga keluarga dan orang-orang terdekat termasuk anak dan isteri.

“Pragmatis”, sebaliknya, akan membuat manusia hidup dengan lebih ringan, lebih santai, mau menerima kenyataan hidup bahwa hidup tidak akan menjadi seperti yang kita mau. Orang-orang yang pragmatis tidak mau repot dengan idealisme dan teori-teori dan konsep-konsep yang rumit dan susah. Mereka mengambil jalan pilihan untuk tidak perduli, membiarkan hidup mereka berjalan “mengikuti arus” dan mengarah pada kehidupan yang menganut paham pragmatisme. Mereka pasrah dalam hidup, bersikap cuek, karena hidup sudah cukup susah dijalani dengan kecuekan, apalagi jika masih harus ditambahi dengan pemikiran-pemikiran dan ide-ide dalam kepala mereka yang menuntut mereka kepada suatu bentuk kehidupan lain yang hanya bagus di dalam angan-angan.

Manakah yang lebih baik diantara keduanya? Idealis atau pragmatis?

“Every form of addiction is bad, no matter whether the narcotic be alcohol or morphine or idealism.” – Carl Jung

Terjemahan: Setiap bentuk kecanduan itu buruk, entah apakah candu itu adalah alkohol atau obat bius atau idealisme.

Yang lebih baik adalah memiliki hidup yang idealis DAN SEKALIGUS pragmatis. Yang benar diantara keduanya ada dalam bentuk paradoks, yaitu KEDUANYA BENAR. Idealisme tanpa pragmatisme akan menjadi hidup yang penuh dengan kesulitan karena kita memaksakan dunia yang ideal ke dalam dunia yang penuh dengan kerusakan ini. Pragmatisme tanpa idealisme akan menjadi hidup yang rusak, karena ketiadaan idealisme mendegradasi kehidupan kepada hal yang sepele dan tidak mengandung nilai yang agung maupun nilai yang tinggi.

Sebagai gambaran, moralitas dan ajaran kebaikan mengajak kita untuk hidup dengan memiliki cinta kasih, kebahagiaan, kedamaian, kesabaran, murah hati, baik, setia, lembut, dan pengendalian diri. Dan tidak ada hukum manapun yang menentang hal-hal tersebut. Namun dunia ini penuh dengan orang yang memiliki kedengkian, iri hati, kebencian, kepahitan, kekecewaan, keserakahan, garang, kasar, dan mengumbar emosi dan keinginan.

Bisakah kita secara ideal melakukan hal-hal yang baik ditengah tantangan kehidupan disekitar kita? Jika tidak bisa, apakah kita akan melompat menjadi pragmatis dan hidup dengan cara seperti semua orang lain yang berada di sekitar kita? Jawabannya, saya percaya, adalah kita tidak sanggup hidup secara idealis. Namun kita juga tidak mau hidup sembarangan.

Akan tetapi, ‘tidak mau hidup sembarangan’ pun telah membuat orang lelah karena upaya mereka hilang ditengah-tengah pengorbanan diri mereka, menjadikan mereka menjadi pragmatis juga pada akhirnya. Mereka yang berusaha dengan susah payah hidup baik, menelan kekecewaan demi kekecewaan. Mereka hidup jujur tapi ditipu, mereka hidup baik tapi hidup mereka menjadi sulit dan dibuat sulit oleh mereka yang jahat, dan menjadi seperti orang yang terkutuk, mereka menjaga pekerjaan tangannya dengan moralitas dan kejujuran dan kebaikan dan murah hati, dan usaha mereka seperti tidak berbuah, dan pekerjaan mereka seakan tidak menghasilkan simpanan untuk persediaan dimasa sukar.

Sementara mereka yang hidup sembarangan, hidup liar dan menjadi gemuk dan wajah mereka berseri-seri dengan banyak harta bendanya dan keluarganya berkelimpahan.
Jadi untuk apa hidup menjaga moral?

Jawabannya adalah untuk menjadi teladan, menjadi berkat bagi semua orang lain yang mengalami kesulitan yang sama. Menjadi teladan yang baik dan membuktikan bahwa masih ada kebaikan di dunia ini, dalam anugerah umum ditengah-tengah masyarakat yang jahat. Saya sangat suka kepada teladan Mother Teresa; itulah orang yang agung yang dikenal di seluruh dunia, bukan orang yang kaya, tapi orang yang baik. Dunia kita yang jahat pun mengerti bahwa tidak ada keagungan dalam kekayaan.

Kita menjaga idealisme kita, berupaya mencapai standard yang begitu tinggi, seperti sebuah cita-cita yang digantungkan setinggi langit, dan kita bekerja bersusah payah meraih idealisme kita. Pragmatisme tidak akan mengantarkan manusia ke bulan, dan tanpa idealisme, tidak akan ada upaya perjalanan ke bulan. Keduanya harus berjalan bersama dalam paradoksitas ide dan upaya yang benar. Beradaptasi melalui pragmatisme untuk mencapai idealisme, mencapai kondisi ideal terbaik di antara kondisi yang sudah jauh dari ideal. Mencari keadaan terbaik diantara semua yang jelek. Seperti contoh di atas mengenai hari saya yang diawali dengan jam dinding yang rusak, saya secara pragmatis berusaha untuk menghasilkan yang terbaik dari kondisi yang sudah tidak baik. Itulah paradoks idealisme dan pragmatisme dalam kehidupan.

Mother Teresa Quotes

Terjemahan:

Orang seringkali tidak beralasan, tidak berpikir logis, dan egois.
Maafkanlah mereka.

Kalau engkau berbuat baik, orang mungkin menuduh engkau memiliki motif yang buruk dan mengutamakan kepentingan sendiri.
Namun tetaplah berbuat baik.

Kalau engkau berhasil, engkau akan menemukan teman palsu dan musuh yang sejati.
Namun tetaplah mencapai keberhasilan.

Kalau engkau jujur dan terbuka, orang akan menipu dan mencurangi engkau.
Namun tetaplah jujur dan terbuka.

Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun, mungkin dihancurkan orang dalam semalam.
Namun tetaplah membangun.

Jika engkau menemukan kedamaian dan kebahagiaan, beberapa orang mungkin akan menaruh dengki.
Namun tetaplah bersuka cita.

Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, seringkali dilupakan orang keesokan harinya.
Namun tetaplah berbuat baik.

Berikanlah yang terbaik yang kamu miliki, dan itu mungkin tetap tidak akan pernah cukup.
Namun tetaplah memberi yang terbaik yang kamu miliki.

Karena pada analisa terakhir, itu semua adalah tentang kamu dengan Tuhan-mu.
Semua itu tidak pernah tentang kamu dengan mereka.