Membela yang Lemah Vs. Membela yang Benar: Ketika yang Lemah Menganiaya yang Kuat.

Sepanjang sejarah, banyak kisah tentang kaum yang tertindas dan penganiayaan. Yang kuat menindas yang kurang kuat, yang kaya menindas yang kurang kaya, yang besar menindas yang kurang besar, yang pria menindas yang kurang pria, dan seterusnya. Dan kisah ini menjadi sumber inspirasi dan imajinasi dari cerita yang menjadi luapan hati banyak orang dalam masyarakat tentang kisah para pahlawan super. Sebuah dambaan yang kekanak-kanakan, mungkin, akan tetapi siapakah yang tidak merasa memiliki relasi dengan fenomena para pahlawan super?

Jiwa yang tertindas, entah mengalami penindasan oleh teman bermain di sekolah, atau mengalami perlakuan dan ketidakadilan di kantor, atau terjadi tragedi dalam kehidupan yang berada diluar kendali. Seandainya ada seseorang diluar sana yang bisa melepaskan kita dari pergumulan hidup kita. Akan tetapi hal itu tidak ada. Tidak ada pahlawan super. Tidak ada yang mendengarkan seruan minta tolong kita. Tidak ada yang datang menolong saat kita terdesak.

Kita harus berjuang sendiri.

Mempertahankan hak kita sendiri. Demi diri kita sendiri. Karena adalah hak kita untuk bisa memiliki kehidupan yang aman. Adalah hak kita untuk hidup sejahtera. Adalah hak kita untuk memperjuangkan apa yang kita inginkan.
Atau benarkah demikian?

Hak Vs Kewajiban

Manusia selalu ribut tentang HAK-nya. Dan paling cepat merespon ketika merasa HAK-nya diganggu. Dan untuk mempertahankan apa yang dirasa menjadi HAK-nya, manusia melakukan sedemikian banyak hal.
Apakah HAK datang begitu saja? Jawabannya adalah TIDAK.

Hati nurani setiap orang menyadari jika saya katakan bahwa seorang anak perlu dididik dengan baik. Dia memiliki hak yang harus dikompensasikan dengan kewajiban. Setiap orang harus belajar, baru berhak mendapatkan pengakuan prestasi. Setiap orang harus bekerja, baru berhak mendapatkan upah. Apakah hanya sedemikian? Sekali lagi jawabannya adalah TIDAK.

Belajar kimia selama 5 menit tidak akan membuat seorang anak memiliki HAK untuk menjadi juara kelas dan memperoleh beasiswa. Bekerja secara sembarangan dengan kualitas rendah tidak membuat seseorang memiliki HAK untuk mendapatkan penghasilan yang seperti yang dia inginkan.

Hak akan selalu diberikan setelah kewajiban dijalankan. Bukan sebelumnya. Anda tidak bisa melamar kesebuah perusahaan sebagai petugas resepsionis dan langsung meminta upah sebesar 7 juta per bulan. Anda juga tidak bisa melamar kesebuah perusahaan tanpa ketrampilan sama sekali dan berharap bahwa hasil kerja Anda harus dihargai sesuai dengan yang Anda mau. Bukan Anda yang memberi penilaian. Itu bukan hak Anda. Anda berkewajiban menunjukkan kemampuan Anda terlebih dahulu, sebelum hak itu diberikan kepada Anda.

Kasih vs. Keadilan

Bagaimana dengan mereka yang kurang beruntung dan tidak mendapatkan kesempatan untuk memupuk ketrampilan? Apakah mereka memiliki hak? Tentu saja!

Sejak dunia jatuh dalam dosa, tidak ada yang sempurna. Dunia ini tidak lagi mencerminkan kemuliaan dan kehormatan penciptanya. Dalam banyak hal, terjadi ketimpangan dan jurang pemisah. Ada yang lebih beruntung dengan segala kesempatan (yang tidak selalu dimanfaatkan dengan baik), dan ada yang kurang beruntung dengan kesempatan yang lebih terbatas (yang -sekali lagi- juga tidak dimanfaatkan dengan baik). Dan yang dari semua kelompok manusia itu, mereka yang paling celaka adalah mereka yang malas dan enggan berjuang.

Yang lebih beruntung, seharusnyalah memiliki kasih dan empati kepada mereka yang kurang beruntung. Memberikan kepada mereka kesempatan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Karena itu bermula dari beberapa negara dengan latar belakang Kristen, ada yang disebut upah minimum. Sehingga orang dengan ketrampilan paling rendah pun boleh memiliki pendapatan yang cukup walaupun seharusnya dia tidak layak dibayar dengan upah setinggi itu. Itu yang disebut sebagai keadilan.

Diharapkan dengan upah yang lebih baik, kesempatan semakin terbuka bagi setiap orang untuk boleh mengasah ketrampilannya dan menciptakan peluang untuk kehidupan yang lebih baik. Dengan upah minimum yang dia peroleh, dia boleh melatih dirinya dengan ketrampilan untuk menggantikan kesempatan belajar yang mungkin selama ini tidak pernah dia dapatkan. Dengan bertambahnya ketrampilan diri, dia bisa mendapatkan kenaikan jenjang karir untuk kemudian mendapatkan upah yang lebih baik dan kehidupan yang seperti dia inginkan.

Akan tetapi, sekali lagi, manusia yang paling celaka adalah mereka yang enggan belajar dan menggunakan uangnya untuk hal yang lebih tidak berguna.

Saya sadari kalimat barusan sudah dua kali saya tuliskan. Bekerja demi masa depan dengan tekun dan rajin dan menahan diri; ada satu ilustrasi yang sering saya gunakan, harap dibaca dan dimengerti dari sisi analoginya saja, tidak perlu dijadikan bahan perdebatan ataupun hiper-rasionalitas:

Semisalkan kita berada dalam satu desa kecil yang miskin, makanan kita sehari-hari adalah nasi dan jagung, dan kemudian saya dan Anda tiba-tiba mendapatkan seekor ayam yang gemuk, apakah yang akan Anda lakukan terhadap ayam itu? Apakah akan Anda goreng atau panggang atau rebus dan dibuat opor? Apakah Anda makan untuk hari ini dan esok lagi? Maksud saya, kita hampir tidak pernah bisa makan daging ayam. Dan ini kesempatan baik untuk makan daging ayam, tidak kah demikian? Dan jawaban saya adalah TIDAK.

Anda akan makan ayam hari ini.

Saya akan makan nasi jagung hari ini. Ayam itu akan saya pelihara. Dia akan bertelur. Dan setelah dia bertelur, saya masih akan makan nasi jagung. Seminggu, dua minggu, tiga minggu, sebulan, dua bulan. Saya masih makan nasi jagung. Telur saya kumpulkan, saya jual dipasar di kota terdekat. Dari telur itu, ada yang saya biarkan menjadi anak ayam. Setelah beberapa bulan, Anda sudah lupa rasanya makan ayam gemuk. Dan saya masih belum makan daging ayam. Anak ayam akan menjadi ayam, dan ayam-ayam itu akan bertelur lebih banyak dan menghasilkan pula banyak ayam kecil. Setengah tahun berlalu, saya baru makan telur ayam, itupun kadang-kadang, karena memelihara ayam itu bukan hal murah. Saya yakin saya tidak perlu meneruskan contoh ini; Anda sudah mengerti maksud saya.

Banyak orang menerima upah mereka dan serta merta membelanjakannya untuk membeli yang mereka MAU, bukan yang mereka PERLU. Mereka menghabiskannya untuk gaya hidup. Bukannya berusaha menambah ketrampilan mereka dibidang kerja yang mereka geluti demi masa depan mereka, mereka berpuas diri dan bermimpi kapan akan naik gaji.

Adil itu bukan “sama”. Sama rata itu bukan adil. Anda tidak mungkin memberi makanan dengan porsi yang sama kepada anak perempuan Anda yang berusia 5 tahun dengan anak laki-laki Anda yang berusia 25 tahun. Tapi kesemuanya Anda beri makan. Itulah kasih dan adil.
Adil itu bukan menyamakan lulusan sarjana dengan mereka yang lulusan SD. Penyamarataan yang bodoh itu akan membangun masyarakat yang bodoh. Untuk apa sekolah tinggi, kalau bisa, tidak sekolah pun akan disamaratakan. Inilah yang membuat negara komunis dan sosialis kacau balau.

Penganiayaan Dalam Masyarakat

Ketidakrataan dalam masyarakat menimbulkan ketegangan-ketegangan yang terjadi di semua negara. Yang lemah, yang miskin, yang minoritas, merasa ditindas. Setelah sejarah manusia dahulu penuh dengan penindasan oleh pemerintah kepada rakyat, kaum bangsawan kepada rakyat jelata, kaum intelektual kepada kaum awam, masyarakat manusia mulai berusaha berubah. Penindasan dihilangkan dan diupayakan penyamarataaan. Yang superior berusaha mengerti kesulitan yang lebih inferior. Perbudakan dihapuskan hampir disemua bagian dimuka bumi.

Keadaan masyarakat mulai membaik. Setidaknya sampai kesadaran tentang hak dan ketidakmengertian tentang kewajiban mengambil alih situasi. Dimanapun hak seseorang diributkan, ditempat yang sama ada kewajiban yang diabaikan dan hak orang lain dianiaya.

Sekarang, kaum inferior bermegah diatas kelemahannya dan menganiaya yang superior. Rakyat menganiaya pemerintah, yang miskin menganiaya yang kaya, yang lemah menganiaya yang kuat, dan seterusnya. Dan semua pihak yang dianiaya tidak tahu bagaimana harus bersikap, karena sikap keras akan dikatai sebagai sikap opresif dan penganiayaan terhadap kaum lemah (lagi). Hal itu terus berlanjut hingga kejahatan menganiaya kebaikan. Kriminal menganiaya pengadilan, penjahat menganiaya petugas hukum, orang yang merasa dirinya suci menindas orang yang benar, dan seterusnya.

Tidak ada sikap tegas yang berani diambil. Dan kebenaran dipermainkan. Yang lemah harus dibela. Saya pribadi tidak mengerti darimana asal muasal pemikiran ini, akan tetapi seingat saya hal itu terus digaungkan sepanjang masa sekolah dasar saya, “Membela kaum lemah.” Apakah itu hanya saya, atau Anda juga sependapat dengan saya. Tidakkah seharusnya kita membela yang benar, bukan yang lemah.

Karena itu didalam Kekristenan, adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan antara kasih dan keadilan yang ditekankan secara terus menerus dan bersama-sama. Salah satunya tidak boleh dihilangkan. Kasih tanpa keadilan adalah kasih yang lemah, tidak berdaya, merusak, seperti kalimat “membela yang lemah”. Keadilan tanpa kasih adalah hukum yang kejam, tidak bisa melihat sisi keberdosaan kemanusiaan dan pengampunan.

Ironi Kontradiksi Antara “Kemauan” dan “Kelakuan” dalam Psikologi

Saya yakin, banyak dari kita –atau mungkin bahkan semua kita– pernah mendengar atau bahkan mengucapkan kalimat seperti demikian, ‘Saya ingin sehat, tapi susah sekali mau mulai berolahraga,’ atau ‘Saya ini sudah berusaha untuk memiliki berat badan yang ideal, tapi susah sekali untuk menahan keinginan untuk makan,’ atau ‘Saya ini sudah berusaha untuk rajin, tapi kenapa selalu gagal fokus.’

Kita semua pasti pernah, atau paling tidak merasakan bahwa ada kesenjangan antara apa yang kita mau dan yang kita lakukan yang ternyata kemudian bertentangan dengan tujuan kita seperti contoh yang barusan saya sebutkan. Fenomena kesenjangan antara keinginan dan kekuatan komitmen kita sering kali menjadi penghambat antara impian dan kenyataan. Fenomena sedemikian menciptakan banyak motivator yang mendorong dan menyemangati kita dengan banyak sekali kalimat-kalimat yang mendongkrak motivasi.

“Everything is about HOW BAD DO YOU WANT IT”

Segala hal adalah tentang SEBERAPA BESAR KEINGINANMU

Saya pribadi menyukai kalimat itu. Kalimat itu menyatakan pada kita untuk mencari kedalam diri kita sendiri, seberapa besar keinginan kita, seberapa dalam ambisi kita, dan ketika kita sudah mengetahuinya, maka sebesar itu pula daya dan tenaga yang akan muncul untuk mendorong kita untuk meraih yang kita dambakan.

Tapi benarkah motivasi-motivasi sedemikian benar-benar bermanfaat? Tidakkah kita semua terus mendengar banyak orang yang mengeluhkan hal yang sama? Yang ingin sehat tetap tidak berolahraga, yang ingin memiliki berat badan ideal tetap tidak berhenti ngemil dan makan, yang ingin tidak mencontek tetap malas belajar, yang tahu bahwa merokok tidak sehat tetap tidak berhenti merokok, yang mengerti bahwa candu itu mengerikan tetap tidak berhenti dengan kecanduan, yang ingin saleh tetap tidak behenti menipu, tidak jujur, dan korupsi, yang beragama dan menyebut nama tuhan tetap saja merebut sikap dan menjadi tuhan bagi manusia lain, yang tahu bahwa diri sendiri memiliki salah tapi tetap berani menghakimi orang lain, dan yang ingin masuk surga tetap tidak berhenti berbuat dosa. Tidak ada yang berubah. Semua tetap sama. Manusia tetap adalah manusia yang penuh dengan kesalahan dan kelemahan.

“Belajar melakukan satu hal yang baik saja belum, sudah selesai melakukan seratus hal yang jahat.”

Pernahkah mendengar pepatah tersebut? Itulah gambaran tentang kita, manusia. Kita berjuang untuk menjadi baik, bersusah payah dan berjerih lelah supaya bisa menjadi orang benar, berkualitas, berbudaya tinggi, agung, anggun, berpengetahuan, berwawasan, berbijaksana, bermoral, dan seterusnya. Dan untuk mencapai itu semua adalah tidak mudah, dituntut ketekunan dan perjuangan dan pembelajaran. Namun apa daya, belum juga selesai belajar untuk menjadi positif, kita semua sudah selesai melakukan semua hal yang sebaliknya, yang bertentangan dan yang negatif: kita egois, tidak toleran, tidak mau mengerti kesulitan orang lain, hidup seenaknya, tidak tertib, tidak taat aturan, malas, tidak perduli dan tidak peka terhadap hal disekitar kita, mengumbar hawa nafsu, dan seterusnya. Dan kesemuanya bahkan tidak perlu kita pelajari, tidak perlu pembelajaran, kita lakukan sambil lalu, bahkan tidak perlu kita upayakan atau kita pikirkan.

Mengapa sedemikian? Karena kita manusia. Itulah alasan yang selalu kita lontarkan. Namanya juga manusia. Setelah selesai meminta maaf, kemudian berbuat salah lagi. Sudah selesai menangis dan menyesal, kemudian kembali melakukan hal yang sama. Kita hanya manusia. Membuat saya kadang bertanya-tanya, benarkah perbuatan baik yang saya lakukan bisa ditimbang dan jadinya lebih banyak daripada kesalahan saya?

Apakah kita tidak memiliki keinginan untuk menjadi baik? Apakah kita tidak termotivasi untuk menjadi makhluk yang agung, makhluk yang berbeda dengan binatang, makhluk yang berakal dan berbudi pekerti? Saya yakin jawabannya adalah tidak demikian, kita termotivasi, sungguh-sungguh mau dan termotivasi. Tapi kita tidak pernah berhasil. Paling tidak, saya tidak pernah berhasil. Saya tidak tahu tentang Anda.

Hal ini bukanlah masalah sosial, bukan problematika sosiologi, bukan juga permasalahan psikologi. Kita seringkali dengan ringan menyalahkan orang lain, “aku berusaha baik, tapi lingkunganku yang membuat aku begini dan mempengaruhi aku.” Dengan kata lain, “aku baik, orang-orang itu yang jahat dan membuat aku ketularan menjadi jahat.” Dan semua orang merasakan hal yang sama, dia merasa baik, tapi lingkungan (baca: semua orang yang lain) yang jahat. Bukankah kita masing-masing adalah ‘lingkungan’ bagi semua orang yang lain? Dengan demikian, tidakkah kita secara kolektif adalah sebenarnya jahat? Sudah diri sendiri jahat, masih menuduh orang lain yang jahat dan mempengaruhi kita –‘katanya’– sehingga kita menjadi jahat. Tidakkah kejahatan kita jadi berlipat, menjadi orang jahat dan menuduh serta memfitnah orang lain sebagai orang jahat?

Masalah tentang perbedaan antara keinginan dan kelakuan ini adalah masalah dengan manusia. Manusia memang sedemikian. Tidak ada jalan keluar.

“This is not a technical problem, not motivational problem, not strong will problem. This is a ‘people problem’. And we cannot fix people. No one can.”

Hal ini bukanlah masalah teknis, bukan masalah motivasi, bukan masalah tekad. Ini adalah ‘masalah manusia’. Dan kita tidak bisa memperbaiki manusia. Tidak ada yang bisa.

Sebagian manusia secara fenomena yang kasat mata terlihat baik, terlihat jujur, terlihat sopan, sampai suatu ketika topeng-topeng itu terbongkar dan terlihat sejatinya. Kembali kepada kalimat motivasi favorit saya, semua itu adalah tentang seberapa besar keinginan kita, tetapi hal itu tidak berlaku untuk semua hal. Dalam beberapa hal, motivasi dapat mendorong kita, namun tidak dalam semua hal. Demikian pula dengan psikologi, sampai dalam hal tertentu, psikologi dapat membantu, namun tidak dalam semua hal. Dan tidak ada jalan keluar lain yang dapat ditawarkan.

Paling tidak, tidak dari apa yang selama ini kita kenali sebagai pengetahuan atau filsafat atau agama.

“You’re a man looking at the world through a keyhole. You’ve spent your whole life trying to widen that keyhole… to see more, to know more. And now, on hearing that it can be widened, in ways you can’t imagine, you reject the possibility.” – The Ancient One (Dr. Strange)

Kamu adalah seseorang yang mengamati dunia ini dari lubang kunci. Kamu menghabiskan seluruh hidupmu mencari cara untuk memperbesar lubang kunci itu… untuk melihat lebih banyak, mengetahui lebih banyak. Dan sekarang, saat mendengar bahwa lubang itu dapat diperbesar, dengan cara yang tidak dapat kamu bayangkan, kamu menolak kemungkinan itu.” – The Ancient One (Dr. Strange)

Sampai pada titik ini, pada situasi yang tampaknya tanpa pengharapan, bagi Anda yang merasakan sedemikian, saya dengan jujur akan mengatakan bahwa saya tidak menulis artikel ini untuk membuat Anda berputus asa. Saya menemukan jawaban dalam buku orang Kristen. Bahwa perubahan dan motivasi yang kuat adalah motivasi yang berasal dari dalam diri. Hal ini juga diketahui oleh kita semua. Motivasi yang berasal dari luar diri tidak akan bertahan lama. Akan tetapi, motivasi seperti apa dan darimana motivasi itu bisa berasal (yang kemudian berada dalam diri seseorang) yang bisa bertahan lama?

Di dalam kepercayaan Kristen, dikatakan bahwa di dalam Yesus, ada kuasa yang memperbaharui dan merubahkan. Perubahan secara fenomena dapat dilakukan oleh siapapun, untuk menipu diri sendiri dan orang lain. Tapi tidak jarang pula, perubahan fenomena itu bisa bersifat sejati. Tetapi ketika menyentuh hal-hal tentang perubahan yang sifatnya esensi dan intisari, yang berkenaan dengan kesalehan, moralitas, kebenaran, kasih dan keadilan, tidak ada perubahan secara fenomenal yang dapat bertahan lama. Perubahan dari luar adalah bersifat sementara dan bahkan bisa mendatangkan frustasi dan keputusasaan dan ketegangan dalam diri. Bayangkan seperti ini, tentang pekerja yang hanya kelihatan rajin saat ada atasannya mengawasi. Itu adalah perubahan fenomena. Dia ingin terlihat baik supaya pekerjaannya dihargai. Tetapi perubahan itu hanya akan mendatangkan ketidaktenangan ketika dia mengerjakan pekerjaannya. Akan tetapi dengan perubahan yang dari dalam diri, ketika dia tahu bahwa dia harus bekerja sebaik-baiknya karena itu adalah hal yang jujur dan benar, dia akan bekerja rajin, baik pada saat ada yang melihat ataupun pada saat sendirian.

“Apakah moralitas itu? Moralitas adalah melakukan hal yang benar, meskipun tidak ada yang melihat.”

Tentang hal pekerjaan, itu adalah hal yang kelihatan.

Tentang kesalehan, kesucian hidup, kejujuran, dan seterusnya, siapakah yang bisa mengetahui? Hanya takut akan Tuhan yang sejati yang bisa menjaga hal-hal yang sifatnya tidak kelihatan. Di dalam buku orang Kristen dikatakan, “Takut akan Tuhan adalah awal dari pengetahuan.” Itulah moralitas. Hiduplah sedemikian seperti hidup senantiasa dihadapan Tuhan. Perubahan bermula dari penyesalan, dan kita yang telah bersalah, diampuni dosanya oleh Yesus. Dari penebusan dosa oleh Kristus akan ada perubahan dari dalam diri masing-masing orang yang akan mendatangkan dan memunculkan hidup. Kekuatan dari dalam itulah yang menghidupkan seseorang dan memampukan dia untuk dirubahkan.

Sama seperti kehidupan semua makhluk hidup yang berasal dari dalam. Kehidupan tidak pernah berasal dan ditopang dari luar diri, melainkan selalu dari dalam. Ketika manusia berusaha memotivasi diri dari luar, kemudian berputus asa dengan keterbatasannya dan perjuangannya untuk menjadi makhluk yang sejatinya adalah yang berakhlak dan bermoral, ketika tidak ada jalan keluar melalui tuntutan agama dan pengetahuan, iman Kristen memberikan jalan keluar.

Ilmu pengetahuan berbicara tentang benar dan salah. Kemudian Agama –semua tanpa kecuali– berbicara tentang baik dan jahat. Dan Filsafat berbicara tentang bijak dan bodoh. Hanya iman Kristen yang berbicara tentang hidup dan mati yang kekal.

“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” – Yesus

Tidak pernah ada siapapun pernah mengatakan hal sedemikian (jika Anda menemukan orang waras lain yang pernah mengatakan hal sedemikian, tolong beritahu saya). Iman Kristen tidak hanya bicara tentang benar dan salah atau baik dan jahat, tetapi terutama adalah tentang hidup. Agama mencari jalan. Pengetahuan dan filsafat mencari kebenaran. Dan hampir semua manusia yang pasti akan mati mencari ‘kehidupan’. Dan semuanya ada didalam Tuhan-nya orang Kristen.